Keterlaluan! Forum Pimpinan Kecamatan Mengusir Penginjil dan Menutup Paksa Rumah Doa

Published:

Umat Kristen kembali menjadi korban intoleransi. Rumah Doa Imanuel yang selama ini jadi tempat ibadah umat Kristen ditutup paksa oleh Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam). Peristiwa ini terjadi di Desa Purbayani, Caringin, Garut, Jawa Barat. Aksi ini terjadi pada Sabtu, 2 Agustus lalu dan diunggah akun Instagram @kabarsejuk pada Kamis, 7 Agustus lalu.

Selain ditutup, penginjil yang memimpin Rumah Doa itu, Dani Natanael Gunawan, dipaksa menandatangani sebuah surat perjanjian. Isinya meminta Dani untuk meninggalkan Rumah Doa Imanuel tersebut. Rumah doa itu juga diminta ditutup dari segala kegiatan keagamaan Kristen. Dani terpaksa menandatangani surat ini karena berada di bawah tekanan beberapa pihak, seperti Kapolsek Caringin, MUI Kecamatan Caringin, Koramil Cisewu, dan jajaran aparat Desa Purbayani.

Padahal kegiatan Dani dan jemaatnya sudah berlangsung sejak 2010. Selama ini Rumah Doa Imanuel jadi satu-satunya harapan bagi 20 lebih jemaat dalam beribadah. Pendeta Yahya Sukma, pembina Gereja Bethel Tabernakel yang menugaskan Dani, menyesali aksi ini. Menurutnya, jika Rumah Doa itu ditutup, para jemaat terpaksa harus beribadah ke Kota Garut atau Pangalengan, Bandung, yang membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam. Bahkan isunya, Dani sempat ditahan satu malam di Polsek Caringin entah dengan alasan apa.

Pendeta Yahya juga menyesalkan Kementerian Agama Kabupaten Garut yang gagal memfasilitasi hak beribadah umat Kristen di wilayah Kecamatan Caringin dan sekitarnya. Kasus pengusiran penginjil dan penutupan Rumah Doa Imanuel di Garut menambah deretan panjang pelanggaran hak kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia.

Polanya nyaris selalu sama: aparat di tingkat lokal dari unsur pemerintah, kepolisian, TNI, hingga tokoh ormas. Mereka berkoordinasi untuk menekan kelompok minoritas agar menghentikan aktivitas ibadahnya. Parahnya, aksi ini sering dibungkus dalih administrasi atau “izin rumah ibadat” yang sebenarnya hanya digunakan sebagai senjata diskriminatif. Padahal, UUD 1945 Pasal 29 dan berbagai peraturan nasional menjamin kebebasan tiap warga negara untuk beribadah menurut agamanya.

Peristiwa di Garut ini jelas punya benang merah dengan pembubaran rumah doa di Sukabumi dan Padang. Di Sukabumi, sebuah retreat umat Kristen dibubarkan oleh massa dan aparat setempat tanpa prosedur hukum yang sah. Di Padang, rumah doa diserang dan dirusak oleh kelompok intoleran, sementara pemerintah daerah dan aparat justru mendorong “jalur damai” alih-alih menegakkan hukum tegas terhadap pelaku.

Semua kasus ini menunjukkan lemahnya negara dalam melindungi kelompok minoritas ketika berhadapan dengan tekanan massa atau pandangan intoleran. Lebih jauh, tindakan seperti ini bukan hanya melanggar konstitusi, tapi juga mencederai prinsip negara Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Negara seharusnya hadir untuk menjamin rasa aman beribadah, bukan malah menjadi bagian dari tekanan yang menghalangi.

Kalau pola pembiaran dan justifikasi terhadap tindakan intoleransi ini terus dibiarkan, kita sedang mengikis sendi-sendi persatuan bangsa dan memberi pesan berbahaya: bahwa hak konstitusional bisa dibungkam oleh mayoritas yang bising. Ini bukan sekadar soal perbedaan keyakinan, tapi soal masa depan negara hukum. Kalau aparat membiarkan atau malah ikut melakukan tindakan diskriminatif, maka kita sedang menciptakan preseden berbahaya. Hak konstitusional bisa dibungkam oleh mayoritas yang bising dan hukum tunduk pada tekanan massa.

Semoga saja Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut bisa mengatasi masalah ini. Juga menindak tegas para pelaku intoleran, sekalipun itu pejabat. Stop Intoleransi!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img