Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan korupsi kuota haji 2024 di Kementerian Agama. Kasus ini menyita perhatian publik karena menyeret sejumlah nama besar, termasuk pendakwah Ustadz Khalid Basalamah. Ia diperiksa hampir delapan jam di Gedung KPK untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Pemanggilan Khalid bukan karena mengatur kuota, melainkan karena ikut dalam penggunaan jalur haji khusus yang bermasalah.
Dalam pernyataannya, Khalid menegaskan bahwa dirinya hanyalah korban. Ia tidak mengetahui apakah visa yang digunakan resmi atau tidak, karena hanya menerima tawaran dari pihak travel. Awalnya, Khalid sudah mendaftar melalui jalur furoda yang sah secara hukum meski di luar kuota resmi pemerintah. Namun, ia kemudian ditawari oleh Ibnu Mas’ud dari PT Muhibbah untuk beralih ke jalur haji khusus resmi. Tawaran itu diterima, dan sebanyak 122 orang rombongan Khalid ikut serta. Belakangan terungkap bahwa jalur yang ditempuh ternyata bermasalah.
Persoalan utama berawal dari tambahan kuota 20 ribu jamaah yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia. Aturannya jelas: 92 persen diperuntukkan bagi jamaah reguler, dan 8 persen untuk jamaah khusus. Namun, aturan tersebut dilanggar dengan pembagian 50 persen untuk reguler dan 50 persen untuk khusus. Akibatnya, sekitar 10 ribu jamaah reguler terpaksa mengalah dan gagal berangkat meski sudah menunggu bertahun-tahun. Praktik ini justru menguntungkan jamaah khusus yang mampu membayar lebih untuk berangkat lebih cepat. Situasi tersebut menimbulkan ketidakadilan karena jamaah reguler harus menunggu hingga 15–20 tahun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat potensi kerugian negara akibat manipulasi kuota ini lebih dari Rp1 triliun.
Nama Khalid semakin disorot karena ia figur publik dengan jamaah besar. Meski mengaku tidak tahu-menahu, keterlibatannya membuat kasus ini semakin ramai diperbincangkan. Mantan penyidik KPK, Lakso Anindito, menilai kasus ini sudah seharusnya naik ke tahap penetapan tersangka. Menurutnya, bukti yang ada sudah cukup kuat, tinggal keberanian KPK untuk mengambil langkah tegas.
Lakso juga menyebut adanya pola sistemik dalam praktik korupsi haji. Pertama, pengelolaan dana haji yang rawan disalahgunakan. Kedua, pemilihan vendor haji yang penuh kolusi dan kepentingan politik. Ketiga, alokasi kuota haji yang sering dijadikan ajang jual-beli antara pejabat Kemenag dan pengusaha travel. Artinya, kasus ini tidak berdiri sendiri, melainkan melibatkan jaringan lama yang terorganisasi. Ada pejabat yang mengatur, ada pengusaha yang mengeksekusi, dan ada penerima manfaat di level atas. Pola ini mirip dengan praktik korupsi di kementerian lain: ada pengumpul, eksekutor, dan penerima akhir.
Mafia haji bukan fenomena baru, melainkan tradisi buruk yang sudah mengakar. Setiap tahun Indonesia mendapat jatah kuota haji dari Arab Saudi. Idealnya, kuota dibagikan secara adil melalui antrean resmi. Namun kenyataannya selalu ada jalan pintas melalui kuota khusus yang diperjualbelikan. Bayangkan, ada jamaah yang harus menunggu. Sementara itu, segelintir orang bisa langsung berangkat karena punya uang dan koneksi.
Skandal kuota haji 2024 mencerminkan betapa carut-marutnya tata kelola haji di Indonesia. Publik kini menunggu ketegasan KPK untuk membongkar jaringan mafia haji yang sudah mengakar. Penegakan hukum tanpa pandang bulu sangat dibutuhkan agar kasus ini tidak berakhir tanpa kejelasan. Yuk, kawal skandal kuota haji ini sampai tuntas!


