Bela Palestina sih boleh banget. Tapi nggak usah kali sampai ngajak anak-anak SD demo atau aksi boikot produk pro Israel. Tapi, itu justru yang dilakuin Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Insan Kamil Depok. Mereka bikin aksi itu pada 15 April lalu di halaman sekolahnya. Aksi itu menjadi perbicangan netizen setelah pegiat pendidikan Ronald Sinaga alias Brorond memposting aksi itu pada Senin, 21 April lalu.
Broron juga mengunggah beberapa foto atribut aksi seperti syal Palestina dan poster berisi daftar produk yang diboikot. Broron menulis caption: “Orang tua banyak yang tidak berani bersuara atau melawan. Baik itu mengenai pungli, pemotongan PIP, atau aksi seperti ini,” tulisnya. Menurut Broron, anak-anak SD gak perlu diajak aksi seperti ini. Surat edaran ke orang tua atau wali siswa sudah cukup. “Anak SD menghitung 6317 x 5259 aja belum tau cara ngitungnya,” tulis Broron.
Ternyata aksi boikot ini bukan hanya dilakukan oleh SDIT Insan Kamil, tapi dilakukan juga oleh SD lain. Ini terlihat dari postingan akun Snack Video @viral_perdetik pada 16 April lalu. Video itu nampilin guru dan beberapa murid yang memegang kertas berisi logo produk yang diduga Pro Israel. Ada restoran cepat saji AW, Produk-produk unilever kayak Sariwangi, pasta gigi Pepsodent, juga snack Cheetos dan produk kecantikan Loreal. Awalnya si guru yang megang dan merobek kertas bergambar produk yang disebut pro Israel. Kemudian aksi itu diikuti oleh para muridnya. Captionnya: Aksi bu guru ini menuai pro dan kontra karena mengajarkan anak didiknya yang masih SD mengoyak dan memboikot produk Israel.
Aksi solidaritas bela Palestina itu mulia. Tapi, jangan sampai mendoktrin anak untuk memboikot produk yang pro Israel. Boikot sering menggiring publik pada pemikiran dangkal: “Kalau kamu beli produk A, berarti kamu jahat.” Padahal konflik Palestina-Israel jauh lebih kompleks karena melibatkan geopolitik, sejarah kolonialisme, hingga hukum internasional. Selain itu, produk yang diboikot juga bisa saja tidak semuanya berkaitan dengan agresi Israel. Sehingga jadinya tidak tepat sasaran. Akibatnya malah justru menghantam pekerja lokal di negara-negara lain yang tidak ada kaitannya. Ini juga bisa berdampak pada petani, buruh pabrik, atau UMKM kecil yang jadi bagian dari rantai distribusi produk.
Boikot ini juga akhirnya membentuk mental generasi muda jadi hitam-putih dan akhirnya terbentuklah prinsip tribalisme, bukan empati. Akibatnya, fokus perjuangan Palestina jadi kabur. Padahal, perjuangan Palestina itu soal melawan pendudukan, menuntut hak untuk hidup merdeka, dan membela nilai universal tentang keadilan manusia. Ada cara lain kok bagi anak untuk bisa menyatakan solidaritasnya buat Palestina. Misalnya diberikan pemahaman apa itu penjajahan, kenapa tanah Palestina harus diperjuangkan. Bisa juga dengan menanamkan nilai-nilai untuk melawan ketidakadilan. Soal siapa yang tertindas, bukan siapa yang kita sukai atau benci.
Yang paling penting, adakan penggalangan dana buat bantuan medis dan pendidikan di sana. Solidaritas bukan soal apa yang kita boikot. Solidaritas adalah tentang siapa yang kita pilih untuk perjuangkan. Yuk nyatakan aksi solidaritas bela Palestina dengan bijak!