Mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo berinisial TKS ini kacau banget deh. Dia itu penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), bantuan untuk mahasiswa pintar dari kalangan tidak mampu. Masalahnya, TKS ketahuan pesta dan dugem di klub malam di Solo. Seleksi penerima KIP-K pun dipertanyakan.
Jadi dalam video yang diunggah sebuah akun Instagram, TKS terlihat joget di klub itu dengan wajah ceria di tengah keramaian. Ia memakai pakaian yang cukup terbuka sambil menikmati suasana malam. Di video itu ada narasi soal kehidupan mahasiswi penerima KIP di siang dan malam hari. “Pov kehidupan siang hari mahasiswi UNS penerima KIP. Malamnya party dong kan kuliahnya gratis,” tulis akun itu. Unggahan tersebut sempat ramai, lalu akhirnya dihapus. TKS juga disebut sering tampil hedon dan bergaul dengan kalangan anak orang kaya.
Menurut mahasiswa lain bernama Ripe (nama samaran), gaya hidup TKS memang terlihat berada. “Kalau kumpulan teman-temannya sih memang seperti anak orang mampu,” katanya. Tapi Ripe nggak bisa memastikan kondisi ekonomi TKS sebenarnya. Pihak UNS lewat juru bicara Agus Riewanto membenarkan TKS memang mahasiswa aktif angkatan 2023. Hasil pemeriksaan Majelis Kode Etik Mahasiswa (MKEM) menyatakan TKS melanggar aturan kampus. UNS menjatuhkan tiga sanksi untuk TKS. Pertama, beasiswa KIP-K dicabut. Kedua, TKS dapat surat peringatan dan diwajibkan ikut konseling selama enam bulan. Ketiga, TKS dilarang menerima beasiswa lain selama kuliah.
Menurut kampus, keputusan ini untuk menegakkan integritas, bukan hanya soal ekonomi. TKS memang terdaftar sebagai penerima KIP-K karena keluarganya dinilai tidak mampu. Tapi kampus menekankan bahwa penerima beasiswa juga harus menjaga moral dan tanggung jawab sosial. Nah, sebenarnya apa sih KIP-K itu? KIP-K adalah program bantuan pendidikan dari pemerintah lewat Kemendikbudristek dan Puslapdik. Tujuannya supaya siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu bisa tetap kuliah. Program ini menanggung biaya kuliah dan memberi tunjangan hidup bulanan bagi penerima.
Sayangnya, pelaksanaannya di lapangan nggak selalu tepat sasaran. Banyak mahasiswa miskin yang justru nggak terdata di sistem bantuan. Sebaliknya, ada yang secara ekonomi mampu tapi bisa lolos karena manipulasi data. Misalnya anak pegawai atau pengusaha kecil yang bisa melunakkan data penghasilan. Selain itu, ada juga penerima yang terpilih karena kedekatan dengan pejabat kampus. Proses wawancara kadang formalitas, tanpa verifikasi lapangan yang benar. Akibatnya, bantuan malah jatuh ke tangan yang salah.
Setelah beasiswa cair, pengawasan terhadap penerima juga lemah. Nggak ada pemantauan soal gaya hidup, prestasi, atau komitmen sosial mereka. Dari sini muncul kasus-kasus penerima bantuan yang justru hidup hedon. Di sisi pemerintah, program ini sering dijadikan kebanggaan politik. Padahal evaluasi tentang efektivitas dan keadilannya jarang dilakukan. Akibatnya, KIP-K jadi tampak seperti ajang pencitraan, bukan alat pemerataan. Masalahnya bukan cuma di mahasiswa, tapi juga di sistem dan kebijakan yang longgar.
Di tingkat kampus, verifikasi penerima masih lemah dan tidak transparan. Di tingkat birokrasi, banyak yang hanya kejar target penerima tanpa memastikan kelayakan. Di tingkat atas, kebijakan sering lebih fokus pada jumlah ketimbang kualitas penerima. Kalau dibiarkan, KIP-K bisa kehilangan makna sebagai program keadilan pendidikan. Pemerintah dan kampus harus perbaiki sistem datanya biar tepat sasaran. Harus ada audit independen dan pendampingan moral bagi penerima bantuan. Biar mereka paham kalau beasiswa itu amanah, bukan uang gratis buat gaya hidup.
Lembaga pendidikan juga mesti tegas dan adil dalam setiap keputusan. Karena ketika kampus gagal menjaga integritas, yang rusak bukan cuma citra mahasiswa. Tapi wajah pendidikan itu sendiri ikut tercoreng. KIP-K seharusnya jadi simbol pemerataan, bukan bukti ketimpangan baru. Semoga kasus kayak gini nggak keulang lagi. Yuk, sama-sama jaga keadilan dan marwah pendidikan Indonesia!


