Aksi intoleransi lagi-lagi terjadi. Sejumlah massa menggeruduk anak-anak pelajar yang sedang melakukan retret di sebuah villa Sukabumi. Tepatnya terjadi di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lebih miris lagi, aksi itu disertai kekerasan dan perusakan villa tempat retret tersebut. Retret adalah sebuah kegiatan liburan yang diisi dengan kegiatan rohani umat Kristen.
Aksi penggerudugan itu terekam dalam sebuah video yang viral di media sosial. Dalam video, terlihat sejumlah orang beringas melakukan perusakan terhadap villa itu, dengan memecah kaca dan merusak beberapa bagian villa. Seorang laki-laki memanggul kayu salib, yang kemudian digunakan untuk memecah kaca jendela vila itu. Dalam video lain, seorang saksi menceritakan sebelumnya melakukan perusakan, massa berteriak-teriak dengan kasar, mengusir peserta yang sebagian besar pelajar. Mereka dipaksa bubar saat itu juga dan diminta segera meninggalkan villa.
Tindakan massa itu, tentu saja membuat anak-anak ketakutan. Merekapun kemudian segera berkemas, dan meninggalkan villa itu. Tapi intimidasi tidak juga berhenti, saat mereka keluar, mobil mereka digedor-gedor sampai penyok di beberapa bagian. Mendengar adanya aksi itu, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Bogor segera menginvestigasi peristiwa itu. Mereka menemukan bahwa tindakan itu adalah bentuk intoleransi terhadap kegiatan ibadah. Menurut GAMKI, tindakan itu tidak saja mencedrai semangat kebhinekaan, tapi juga melanggar konstitusi. “Ini jelas melanggar hak konstitusional setiap warga negara dalam menjalankan keyakinan dan agamanya,” kata Sekretaris DPD GAMKI Bogor Andry Simorangkir.
Kasi Humas Polres Sukabumi Iptu Aah Saifulrohman menepis kabar adanya perusakan tempat ibadah atau gereja. Menurutnya, bangunan yang dirusak merupakan rumah singgah yang diduga dijadikan tempat ibadah. Pihaknya saat ini katanya masih melakukan penyelidikan terkait kejadian tersebut. “Yang rusak area taman, gazebo, fasilitas MCK, satu unit motor dan gerbang rumah”, katanya. Kepala Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu Ijang Sehabudin beralibi, warga protes hingga melakukan perusakan karena rumah singgah diduga dijadikan tempat ibadah. Selain itu, kata Ijang, protes terjadi karena pemilik dan pengelola villa tidak mengindahkan teguran dan imbauan warga.
Belakangan aksi ini akhirnya berujung damai. Forkopimcam Cidahu bersama tokoh agama dan berbagai lapisan masyarakat mengadakan musyawarah di Aula Kantor Desa Tangkil. Mereka sepakat bahwa tindakan warga yang menggeruduk, merusak, dan mengintimidasi para peserta retreat Kristen tidak bisa dibenarkan dengan alasan “tidak ada izin”. Mereka pun kemudian bersedia mengganti kerusakan yang ditimbulkan aksi massa itu. Yang aneh, mereka meminta agar kasus itu tidak dilanjutkan secara hukum.
Retreat bukan pembangunan rumah ibadah, oleh karenanya mengadakan acara itu tidaklah perlu izin.
Rumah dijadikan tempat ibadah juga hal yang lumrah, karena penganut agama mayoritas pun biasa melakukan itu. Lagi pula, kegiatan ibadah internal keagamaan kan dijamin oleh konstitusi, tepatnya pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Alasan “tidak berizin” dan “tidak mengindahkan teguran warga” jelas normalisasi tekanan sosial terhadap kebebasan beragama. Dalam negara hukum demokratis, hak asasi tak bisa dikalahkan oleh tekanan mayoritas. Walaupun sudah berakhir damai, proses hukum tidak boleh berhenti. Penegak hukum harus memproses hukum para pelaku intoleran. Tegakkan keadilan, junjung tinggi toleransi!


