Bagi seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan Ahlul Kitab, yang beda agama, khususnya perempuan Yahudi dan Kristiani dihalalkan oleh Al-Quran. Nikah beda agama dalam konteks ini harusnya diperbolehkan dan disahkan. Saya lihat pihak yang mengharamkan keliru mengutip ayat Al-Quran.
Saya mau membahas tema yang sedang jadi perhatian dan perdebatan: nikah beda agama.
Pelaku pernikahan beda agama di Indonesia memang masih terdiskriminasi. Dalam lembaga yang dianggap resmi dalam agama Islam di Indonesia masih tidak mengakui pernikahan beda agama.
Padahal sudah ada sederet argumentasi yang memperbolehkan nikah beda agama dan banyaknya kasus pernikahan beda agama.
Bahkan Al-Quran sendiri menghalalkannya. Sedangkan pihak yang mengharamkan pernikahan beda agama ternyata salah dalam memilih ayat Al-Quran!
Misalnya melalui fatwa MUI tahun 2005 dikatakan bahwa (1) Pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah (2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut “qaul mu’tamad” (pendapat yang bisa dijadikan sandaran), adalah haram dan tidak sah.
Dalam hal ini MUI telah mengharamkan hal yang sebenarnya halal dalam Al-Quran. Istilah halal, bukan dari saya, tapi dipakai dalam ayat Al-Quran.
Dalam surat Al-Mâ’idah ayat 5:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Hari ini DIHALALKAN bagimu (segala) yang baik. Dan makanan Ahl Al-Kitab halal bagimu, dan makananmu pun halal bagi mereka, (Halal bagimu untuk dikawini) perempuan-perempuan baik di antara orang mukmin, dan (juga) perempuan-perempuan baik di antara orang yang menerima Al-Kitab sebelum kamu.
Siapa yang menghalalkan menikah dengan perempuan-perempuan Ahlul Kitab? Allah Swt! Ayat ini tidak hanya berbicara kebolehan atau kehalalan menikahi perempuan baik dari Ahlul Kitab, juga menyamakan mereka (perempuan baik Ahlul Kitab) dengan perempuan baik dari kalangan mukmin (orang Islam).
Pengakuan kesetaraan kebaikan dalam perempuan, baik perempuan yang beragama Islam dan perempuan Ahlul Kitab. Perempuan baik, terhormat dan mulia, apapun agamanya, tetap disebut sebagai perempuan yang baik dan terhormat, tidak ada tapi. Misalnya ada ungkapan “dia perempuan baik dan terhormat tapi agamanya…” Tidak ada ini. Perempuan baik dan terhormat apapun agamanya.
Siapa itu Ahlul Kitab? Agama Yahudi, Kristen, Shabiin, Majusi yang disebutkan dalam Al-Quran, atau agama-agama lain yang ada di Indonesia kalau kita mengikuti fatwa dari Syaikh Muhammad Abduh, seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Sinto yang nanti akan ada penjelasannya.
Menurut Prof Dr Wahbah al-Zuhayli, Allahu yarham, seorang ulama terkenal dari Suriah dalam kitabnya ‘al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu’ (Fiqih Islam dan Dalil-dalilnya), kitab yang juga terkenal di Indonesia dan dunia Islam, hukum menikah dengan perempuan Ahlul Kitab adalah mubah (boleh) alias halal menurut kesepakatan ulama (ijma’), paling jauh pendapat adalah memakruhkannya (sebaiknya dihindari) tapi tidak ada yang berpendapat mengharamkannya.
Contoh dari makruh (sebaiknya dihindari) menikah dengan perempuan Ahlul Kitab kalau “harbiyyah” komunitasnya memerangi umat Islam. Berikut kutipan dari teks kitab Profesor Wahbah:
الزواج بالكتابيات: الكتابية: هي التي تؤمن بدين سماوي، كاليهودية والنصرانية. وأهل الكتاب: هم أهل التوراة
والإنجيل، لقوله تعالى: اَنْ تَقُوْلُوْٓا اِنَّمَآ اُنْزِلَ الْكِتٰبُ عَلٰى طَاۤىِٕفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَاۖ
Menikah dengan perempuan-perempuan Ahlul Kitab. Perempuan Ahlul Kitab adalah perempuan yang beriman pada agama samawi, seperti Yahudi dan Kristen. Dan Ahlul Kitab adalah orang yang percaya pada Taurat dan Injil. Sebagaimana firman Allah Swt
(Kami turunkan Al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan, “Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami (Yahudi dan Nasrani)…
QS Al-An’am 156
وقد أجمع العلماء على إباحة الزواج بالكتابيات، لقوله تعالى: {اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ… المائدة: ٥] والمراد بالمحصنات في الآية: العفائف، ويقصد بها حمل الناس على التزوج بالعفائف، لما فيه من تحقيق الود والألفة بين الزوجين، وإشاعة السكون والاطمئنان
Dan para ulama telah bersepakat (ijma’) atas dibolehkannya menikahi perempuan-perempuan Ahlul Kitab sebagaimana firman Allah surat Al-Maidah ayat 5, dan arti dari “al-muhshanat” di ayat tadi “al-‘afa’if” perempuan-perempuan baik, mulia, terhormat.
Tujuannya mengajak manusia menikahi perempuan-perempuan baik dan terhormat. Karena akan tercipta cinta dan kasih sayang antara pasangan yang memancarkan ketenangan dan kedamaian.
Sedangkan pengharaman pernikahan beda agama lahir karena kesalahan merujuk pada ayat Al-Quran yang dimaksud dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
Janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman, sungguh budak perempuan yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik sekalipun dia menakjubkan kamu, dan janganlah kamu nikahkan (anak perempuanmu) dengan orang musyrik sebelum mereka beriman, budak laki-laki yang beriman sungguh lebih baik dari laki-laki yang musyrik meskipun ia menakjubkan kamu, mereka (orang-orang yang musyrik) mengajakmu masuk api (neraka) tapi Allah memanggil (kamu) masuk surga dan (mendapat) ampunan dengan izin-Nya.
Ayat ini melarang muslim (laki-laki Islam) menikah dengan perempuan MUSYRIK bukan dengan perempuan Ahlul Kitab. Dan seorang muslimah (perempuan Islam) menikah dengan laki-laki musyrik.
Karena itu harus dibedakan antara orang MUSYRIK dengan orang AHLUL KITAB.
Musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah, menyembah berhala, yang konteksnya adalah kaum pagan Arab di Mekkah dan sekitarnya yang waktu itu memerangi Nabi Muhammad Saw dan pengikutnya.
Ayat ini merupakan ungkapan yang masuk akal untuk saat itu. Bagaimana melangsungkan pernikahan dengan pihak lawan yang memusuhi?
Saat ini saja dua mempelai yang sudah satu agama tapi datang dari latar belakang yang berbeda ormas keagamaan atau suku, persaingan ekonomi dan partai politik, atau beda pilihan capres amat sulit dilangsungkan pernikahan karena sering terhalang restu keluarganya.
Karena proses pernikahan tidak hanya urusan sepasang mempelai, tetapi terkait dengan keluarga sepasang mempelai itu.
Kembali ke pembahasan utama: poin penting adalah kita harus membedakan antara orang MUSYRIK dengan AHLUL KITAB. Dalam Al-Quran juga ditegaskan perbedaan antara orang MUSYRIK dan Ahlul Kitab.
Misalnya dalam ayat 150 dari surat Al-Baqarah
مَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَلَا الْمُشْرِكِيْنَ
Orang-orang yang ingkar dari Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan..
Kata “wa” yang diartikan “dan” di ayat tadi dimaksudkan ada perbedaan di keduanya. Contoh sederhana dari percakapan sehari-hari: Akaltu soto ayam wa coto Makassar (saya makan soto ayam DAN coto Makassar).
Soto ayam dipisahkan dari coto Makassar dengan kata wa (dan) karena coto Makassar bukan soto ayam. Karena kalau coto Makassar sama dengan soto ayam maka tidak perlu disebut lagi dan dipisahkan dengan kata ‘dan’.
Maka dengan argumentasi ini disimpulkan: orang Ahlul Kitab berbeda dari orang Musyrik, meskipun dari mereka ada yang disebutkan dalam ayat itu: orang yang ingkar, atau kufur. Atau yang lebih jelas lagi dalam ayat 17 surat Al-Hajj:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِـِٕيْنَ وَالنَّصٰرٰى وَالْمَجُوْسَ وَالَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا
Sesungguhnya orang-orang beriman (Islam), orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik…
Penyebutan “orang musyrik” dibedakan tersendiri dari orang Yahudi, Kristen, Shabiin dan Majusi yang sering disebut Ahlul Kitab.
Intinya harus membedakan antara orang MUSYRIK dengan orang AHLUL KITAB. Apakah orang-orang Ahlul Kitab zaman sekarang sama dengan zaman Al-Quran turun?
Saya teringat jawaban Gus Dur yang pernah ditanyakan soal ini, beliau menjawab “Sama saja, karena polemik soal keyakinan Kristen dan Yahudi, serta masalah perdebatan otentisitas kitab suci mereka juga terekam dalam ayat-ayat Al-Quran”.
Dan kalau kita membaca sejarah kekristenan, di banding Islam yang turun pada abad ke-7 Masehi, soal kodifikasi alkitab, kanonisasi dan kristologi sudah “selesai” di abad-abad sebelum Islam datang.
Misalnya melalui Konsili Nikea I abad ke 4 Masehi (tahun 325 M), Konsili Kostantinopel I tahun 381 M, Konsili Efesus 431 dst…
Dan ada pendapat yang menarik, ada riwayat dari Ibn Abbas dari al-Bayhaqi yang berpendapat sebenarnya ayat 221 surat Al-Baqarah: pengharaman menikahi perempuan musyrik sudah dihapus hukumnya dengan ayat 5 surat Al-Mâ’idah yang turun kemudian.
Artinya kalau pendapat ini mau diikuti: tak hanya diperbolehkan menikah dengan perempuan Ahlul Kitab juga dengan perempuan musyrik. Syaratnya musyriknya itu bukan “harbi” (memusuhi Islam dan umat Islam) serta diharapkan nantinya perempuan musyrik itu masuk Islam.
Apakah Ahlul Kitab hanya terbatas pada penganut agama Yahudi, Kristen, Shabiin dan Majusi yang disebutkan dalam Al-Quran?
Saya mau mengambil fatwa dari Syaikh Muhammad ‘Abduh-Allahu yarham– yang dijuluki “al-ustadz al-Imam”, seorang Mufti Mesir pada awal abad ke-20, dan seorang ulama Al-Azhar yang saat itu mendapatkan pertanyaan dari “orang Jawa” (istilah untuk orang Indonesia dan Nusantara saat itu) tentang seorang muslim yang menikahi perempuan non Islam pengikut “pagan dari China” (kal watsaniyyah as-shiniyyah) dalam tesk aslinya dalam bahasa Arab.
Syaikh Muhammad Abduh memasukkan dalam golongan Ahlul Kitab selain Yahudi, Kristen, juga Majusi, Konghucu, Buddha, Hindu dan agama-agama di Jepang. Karena Syaikh Muhammad Abduh berkeyakinan setiap bangsa, pasti diturunkan seorang utusan Allah Swt, dan mereka memiliki kitab suci samawi.
Menurut Syaikh Muhammad Abduh, musyrik yang dimaksud dalam ayat 221 surat Al-Baqarah adalah orang-orang pagan Arab saat itu secara khusus Mekkah dan sekitarnya–mengikuti pendapat Guru Para Mufassir Al-Quran Ibn Jarir At-Thabari–dan umumnya merujuk pada orang yang menyekutukan dan menyembah selain Allah, mereka juga tidak memiliki kitab suci dan mereka yang berusaha aktif memusuhi dan memerangi Nabi Muhammad Saw.
Ini saya kutip dari kitab “Tafsir al-Manar”, volume VI, halaman 193. Jadi musyrik itu tidak hanya soal keyakinan tapi pada tindakan mereka yang memusuhi Nabi Muhammad Saw dan umat Islam.
Dengan argumentasi tadi, baik dari ayat Al-Quran dan pendapat ulama, pernikahan beda agama kalau laki-lakinya muslim dan calonnya adalah perempuan-perempuan baik dari Ahlul Kitab maka diperbolehkan, yang dilarang adalah menikahi wanita musyrik Arab, karena mereka pagan yang tidak memiliki kitab suci dan memusuhi Nabi Muhammad Saw dan umat Islam saat itu.
Poinnya nikah beda agama antara laki-laki muslim dan pempuan baik dari Ahlul Kitab hukumnya dihalalkan, diperbolehkan. Tapi ingat, halal dan boleh bukan berarti dianjurkan. Karena kalau anjuran, doktrinnya beda.
Untuk para jomblo, ini doktrinnya dari Sabda Nabi Muhammad Saw:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka berpeganglah pada keberagamaannya agar kamu memperoleh kebahagiaan.
Agama di sini bukan hanya satu agama Islam, tapi juga baik dalam pengetahuan, pelaksanaan dan keluhuran budinya sebagai orang Islam. Nah, kalau doktrin inilah yang disebut dengan anjuran.
Wallahu A’lam bis Shawab.