Jakarta, PIS – Pendiri lembaga survei SMRC, Saiful Mujani, mengemukakan data yang memprihatikan. Ia memaparkan hasil survei opini publik soal intoleransi terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di kanal YouTube SMRC.
Menurut Saiful, agama menjadi faktor yang berpengaruh pada intoleransi terhadap kelompok LGBT. Hasil survei SMRC pada Mei 2022 itu menunjukkan 68% publik Indonesia keberatan bertetangga dengan LGBT.
Yang keberatan LGBT menjadi guru di sekolah negeri sebesar 77%, dan menjadi pejabat pemerintah sebesar 78%. “Kalau anda punya latar belakang sosial LGBT, potensi untuk tidak diterimanya tinggi, bahkan untuk hanya sekadar menjadi tetangga,” kata Saiful.
Dalam analisis tabulasi silang, Muslim memiliki penolakan yang jauh lebih kuat pada LGBT dibanding non-Muslim. Dari 88% warga yang beragama Islam, 71% keberatan atau sangat keberatan bertetangga dengan LGBT.
Sementara warga yang beragama non-Islam, hanya 40% yang keberatan. Warga Muslim yang keberatan LGBT menjadi guru di sekolah negeri sebanyak 81%. Sementara yang keberatan mereka menjadi pejabat pemerintah sebesar 82%. Di kelompok non-Muslim, yang keberatan LGBT menjadi guru di sekolah negeri sebanyak 51%.
Dan yang keberatan mereka menjadi pejabat pemerintah sebesar 52%. Saiful menjelaskan, bahwa LGBT dalam tradisi agama apa pun memiliki kecenderungan tidak diterima. Namun yang menarik, non-Muslim mayoritas tidak keberatan dengan LGBT sebagai tetangga, meski menolak jika mereka menjadi guru sekolah negeri atau pejabat publik.
Saiful menduga fenomena ini terjadi karena sosialisasi negatif terhadap LGBT di kalangan orang Islam mungkin lebih massif. Dilihat dari sisi gender, penolakan pada LGBT tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Orang yang tinggal di perkotaan dan pedesaan juga tidak berbeda, begitupun dari sisi pendidikan.
Padahal, Saiful berharap pendidikan menjadi benteng untuk memodernisasi orang menjadi lebih terbuka. Tapi data tersebut menunjukkan, pendidikan di Indonesia ternyata tidak membuat orang menjadi lebih toleran pada LGBT.
Pendidikan di Indonesia, kurang lebih warnanya sama soal LGBT, ini disebabkan bagaimana mereka memahami agama. Resistensi pada LGBT nampak sangat kuat di wilayah Sumatera, DKI-Banten, Jabar, Jateng-DIY, dan Jatim. Sementara wilayah bagian Timur Indonesia relatif lebih menerima.
“Di belakang semua ini adalah pemahaman agama yang sangat kuat berpengaruh pada tingkat toleransi pada LGBT,” jelasnya. Karena begitu besarnya sentimen negatif pada LGBT, Saiful mengingatkan pada para aktivis pembela hak-hak LGBT untuk hati-hati. Stop diksriminasi terhadap kelompok LGBT.