Bolehkah perempuan menjadi imam shalat di depan kaum pria? Pertanyaan ini kembali mengemuka karena kini beredar kembali video yang menampilkan Perempuan menjadi imam tarawih. Dinarasikan, sejalan dengan keseteraan gender, kini Perempuan pun bisa menjadi imam tarawih dengan kaum pria sebagai Jemaah shalatnya. Selama ini, kebanyakan ulama berpendapat Perempuan boleh menjadi imam kalau makmumnya perempuan.
Di masa Nabi pun, praktek ini sering dilakukan. Beberapa kali Nabi menunjuk beberapa perempuan untuk menjadi imam shalat jamaah perempuan. Baik untuk shalat fardhu, maupun shalat sunnah. Beberapa perempuan yang pernah ditunjuk menjadi imam shalat antara lain: Siti Aisyah, Ummi Waraqah, Ummu Salamah, dll. Pertanyaannya, bagaimana kalau makmumnya laki-laki? Kebanyakan ulama menganggapnya tidak boleh.
Padahal, sebenarnya tidak ada dalil yang secara gamblang yang melarang praktek itu. Tidak ada ayat Al Quran ataupun hadits yang melarang Perempuan jadi imam tarawih kaum pria. Karena itu ada sebagian ulama yang membolehkannya. Ini misalnya disampaikan oleh Imam Ahmad Bin Hambal’. Menurutnya perempuan boleh menjadi imam dengan makmum laki-laki. Tapi dengan syarat, posisi perempuan yang menjadi imam tetap berada di belakang makmum laki-laki.
Aneh ya, masa sebagai imam posisinya berada di belakang? Ulama lain yang membolehkan adalah Al-Muzanny, Abi Tsaur dan Muhammad bin Jarir at-Thabari. Namun ketiga ulama ini juga memberikan dua syarat terkait bolehnya seorang perempuan bisa menjadi imam laki-laki. Pertama: Tidak ada jamaah laki-laki yang lebih baik bacaan shalatnya dibanding perempuan yang akan jadi imam. Syarat kedua, sama dengan Imam Ahmad bin Hambal, perempuan yang menjadi imam tetap berdiri di belakang makmum laki-laki.
Nah terkait syarat kedua ini, KH Imam Nakha’i seorang dosen Fikih dari Sukorejo, Situbondo punya pendapat berbeda. Menurutnya, terkait posisi imam perempuan harus tetap berada di belakang makmum laki-laki adalah wilayah Ijtihad. Artinya, pandangan yang menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi imam tarawih berdiri di depan laki laki, itu tidak salah. Sebab imam memang selayaknya di depan. Kalau beralasan bisa menimbulkan syahwat menurutnya itu tidak masuk akal. Masa orang lagi shalat bisa muncul syahwat? Kalau lagi shalat saja bersyahwat, menurutnya ya otaknya harus dibersihkan.
Cara pandang KH Imam Nakha’i ini cukup progresif. Sudah selayaknya umat Islam mempertimbangkan pendapat itu. Saat ini, tidak sedikit perempuan yang mempunyai pemahaman Islam yang lebih mendalam di banding kaum laki-laki. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak berani menjadikan perempuan sebagai imam shalat.
Tapi memang, pendapat seperti itu pasti akan mendapat pertentangan dari banyak kalangan Islam lainnya. Bahkan bisa saja, akan dituduh sebagai penistaan agama. Ini yang dialami oleh Pemimpin Pesantren Al-Zaitun, Panji Gumilang. Dia pernah gugat secara hukum melakukan penistaan agama setelah menunjuk seorang perempuan menjadi khatib shalat Jum’at di pesantrennya.
Di era yang semakin menghargai posisi perempuan, fikih-fikih yang memperkuat posisi perempuan harus berani dimunculkan bahkan dipraktikkan. Langkah-langkah itu, akan membuktikan, kalau Islam memang menghargai perempuan. Kan ironis, mengklaim menghargai perempuan, tapi praktek-praktek ibadahnya menomerduakan perempuan. Yukk beragama dengan akal sehat!