Pemuda asal Indonesia di luar negeri ini jadi sorotan setelah aksinya membantu orang asing tanpa pamrih. Momen itu terekam dalam video eksperimen sosial yang dilakukan Nabil Ali Abdulrahman, seorang pria asal Inggris. Video itu dia unggah di akun medsosnya, @manlikenabs.
Di video itu, Nabil berpura-pura kelaparan karena diusir dari rumah dan kehilangan dompet, sehingga dia tidak bisa membeli makanan. Sepanjang berjalan di lingkungan itu, 16 orang yang didekati, semuanya menolak. Bahkan, ada yang menunjukkan kartu anggota keamanan untuk menghindarinya.
Sampai akhirnya, orang ke-17 yang Nabil temui bersedia membantunya. Pria ini gak cuma bersedia membantu, tapi juga dengan sopan bertanya makanan apa yang diinginkan Nabil. Mereka pun pergi ke toko roti sambil berkenalan. Saat ditanya asalnya, pria tersebut mengaku dari Indonesia. Tanpa ragu, pria ini membelikan Nabil roti seharga 5 pounds atau sekitar Rp 104 ribu.
Setelah keluar toko, akhirnya Nabil mengungkap bahwa ini adalah eksperimen sosial dan bertanya kenapa pria itu mau membantunya. Jawabannya simpel, karena Nabil bilang dia kelaparan, yang sontak bikin Nabil terharu. Tidak ada perhitungan, tidak ada pamrih. Dari banyaknya orang yang Nabil temui, hanya pria Indonesia ini yang mau menolong tanpa ragu.
Dan seperti yang biasa dia lakukan dalam eksperimen sosialnya, Nabil ngasih hadiah ke pria ini. Tapi bukan cuma sekadar ucapan terima kasih—dia langsung ngasih iPhone dan uang tunai sebesar 1.000 pounds atau sekitar Rp 21 juta! Pria Indonesia itu kaget banget, sampai spontan meluk Nabil dan minta foto bareng.
Kisah ini bukan sekadar aksi individu, tapi juga bukti nyata bagaimana budaya kolektivisme dan tolong-menolong masih kuat di masyarakat Indonesia. Sejak dulu, nilai gotong royong tertanam dalam kehidupan sosial kita. Dari tradisi memberi, budaya sedekah dan zakat, hingga kebiasaan membantu dalam berbagai situasi—baik perayaan maupun musibah.
Namun, di era modern, budaya seperti ini mulai luntur. Individualisme semakin kuat, terutama di kota-kota besar. Meski begitu, dibandingkan negara-negara Barat, Indonesia masih lebih kolektif. Dan kisah pria Indonesia di eksperimen sosial ini membuktikan bahwa nilai itu masih hidup, bahkan sampai ke luar negeri.
Dalam skala global, diaspora Indonesia juga terkenal menjunjung tinggi semangat kebersamaan. Mereka membentuk komunitas perantau, saling membantu dalam acara budaya, dan tetap menjaga tradisi gotong royong. Contohnya, saat ada bencana di Indonesia, diaspora di luar negeri sering menggalang dana untuk membantu korban, seperti pada Tragedi Palu 2018 dan Pandemi COVID-19. Pekerja migran di Malaysia, Hong Kong, atau Timur Tengah juga saling bahu-membahu dalam urusan pekerjaan dan tempat tinggal. Mahasiswa Indonesia di luar negeri pun sering membantu juniornya beradaptasi dengan bahasa dan lingkungan baru.
Jadi, apa yang dilakukan pria Indonesia dalam eksperimen sosial ini bukan hal yang mengejutkan bagi kita. Ini adalah bagian dari budaya yang sudah mendarah daging. Dunia mungkin semakin individualis, tapi kebaikan hati nggak boleh ikut luntur. Yuk, terus jaga nilai gotong royong dan peduli sesama!