Bupati Bangkalan, Madura, Jawa Timur, terbitin Surat Edaran (SE) yang wajibin zikir dan sholawat di seluruh kantor pemerintahan. Anggaran khusus buat kegiatan ini bakal siap dikucurin. Segitu mendesaknya ya sampai perlu diprioritaskan? Bupati Bangkalan, Lukman Hakim, resmi terbitin SE yang wajibin baca zikir dan sholawat pada 21 Juli lalu. Salah satu isinya: semua kantor pemerintahan harus buka kegiatan dengan dzikir dan sholawat di setiap kegiatan resmi, termasuk rapat dan pertemuan. Bupati bilang kewajiban membaca zikir dan sholawat di seluruh kantor pemerintahan bukan sekadar formalitas. Tapi bagian dari pembangunan budaya spiritual.
“Ajakan ini menjadi salah satu bentuk penguatan nilai-nilai religius yang telah menjadi ciri khas daerah kita,” katanya. Bahkan, katanya, pemerintah kabupaten siap ngucurin anggaran khusus buat kegiatan itu. Buat ASN yang non-Muslim, momen pembacaan dzikir dan sholawat disesuaikan dengan ajaran masing-masing. SE ini diteken bupati di Pendopo Agung Bangkalan dan dihadiri banyak ulama dan tokoh masyarakat. Salah satunya Habib Jindan yang hadir di Bangkalan buat kasih tausiyah di acara Tabligh Akbar. Habib Jindan dukung penuh SE itu. Katanya, SE itu cara hidupin kembali nilai spiritual di ruang publik. Menurut bupati, SE ini langkah lanjutan peraturan daerah tahun 2019 tentang Bangkalan sebagai Kota Dzikir dan Sholawat.
Kebijakan ini dikritik netizen. “Rakyat butuh kerja,” komen salah satu netizen. “Intoleran jalan terus,” komen yang lain. “Sholawat jalan, korupsi jalan, maling besi tetep jalan,” timpal yang lain. Apa yang dilakuin Bupati Bangkalan ini satu dari sekian kebijakan serupa kepala daerah lainnya. Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, misalnya, terbitin SE yang isinya semua kegiatan pemerintahan daerah wajib berhenti pas adzan berkumandang. Tujuannya supaya ASN lebih mengutamakan waktu sholat dan ningkatin disiplin dan ibadah ASN. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, wajibin semua kios tutup setiap kali adzan berkumandang. Tujuannya supaya warga mengutamakan shalat.
Dzikir, sholawat, begitu juga sholat, tentu amalan yang baik, terutama buat yang beragama Islam. Tapi kenapa urusan-urusan ibadah ASN dan warganya itu lebih mendesak diprioritaskan para kepala kepala daerah? Urusan ibadah kan urusan personal. Dan urusan ibadah bukan ranah yang diurus negara. Kenapa para kepala daerah nggak fokus menyelesaikan banyak masalah publik yang mendesak untuk ditangani. Di antaranya jalanan yang rusak, layanan pendidikan dan kesehatan yang belum maksimal, lapangan kerja? Apa masalah-masalah publik yang mendesak itu sudah berhasil mereka tangani?
Karena itu, wajar kalo banyak publik menganggap kebijakan yang nampak religius itu cuma sekedar gimmick. Kebijakan itu sekedar topeng buat nutupin kegagalan kepala daerah bikin kebijakan substantif buat sejahterain warganya. Kebijakan itu juga melanggar prinsip netralitas negara dalam UU Pemerintahan Daerah. Negara dipaksa memihak dan menggunakan kewenangan atau sumber dayanya buat kepentingan kelompok tertentu yang bisa menimbulkan diskriminasi. Bahayanya lagi, kebijakan kayak gini bisa menormalisasi pemaksaan simbol agama tertentu lewat hukum.
Lama-lama, orientasi negara bisa bergeser dari menjamin hak kebebasan beragama warga jadi mengontrol cara beragama warga. Kami di PIS nggak anti-Islam. Kami cuma berpegang pada prinsip bahwa negara atau pemerintahan harus menjamin kebijakan publik harus adil dan nggak diskriminatif. Apalagi Indonesia bukan negara agama. Jangan sampai kebijakan yang nampak religius di banyak daerah itu justru jadi langkah awal formalisasi agama dalam ruang publik. Itu berbahaya karena akan meninabobokan publik dari persoalan riil yang harusnya segera ditangani kepala daerah. Juga menggerus iklim keberagaman di Indonesia. Yuk, tolak kebijakan publik yang diskriminatif!