Jakarta, PIS – Membangun gerakan anti islamofobia di Indonesia itu untuk apa ya. Bukankah di Indonesia mayoritas muslim? Bukankah banyak muslim yang memegang posisi-posisi kunci di pemerintahan?
Di tengah kondisi seperti itu, mana mungkin ada kebencian terhadap Islam di Indonesia Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan untuk menyikapi munculnya Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI). GNAI baru dideklarasi pada 15 Juli lalu di Masjid Al Azhar Jakarta.
Inisiatornya antara lain Wakil Ketua MUI Anwar Abbas, Sekjen PP Syarikat Islam Ferry Juliantono, musisi Ahmad Dhani Prasetyo, dan lain-lain. Ada sejumlah poin yang dibacakan Ferry selaku Presidium GNAI.
Di antaranya, meminta pemerintah tidak menjadikan Islam dan umat Islam sebagai lawan. Lalu, menghentikan stigmatisasi Islam dan umat Islam sebagai radikal, intoleran, dan anti kebinekaan. Hmmm, sejak kapan ya pemerintah menjadikan Islam dan umat Islam sebagai lawan?
Presiden Jokowi sendiri bersahabat dengan sejumlah ulama kharismatik. Antara lain dengan almarhum Buya Syafii Maarif, Profesor Quraish Shihab, dan KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus. Bahkan, wakil presiden saat ini adalah mantan Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin.
Bahwa ada muslim yang teridentifikasi radikal, intoleran, dan anti kebinekaan itu bukan stigmatisasi Islam. Itu fakta sosiologis yang tidak bisa dibantah. Di satu sisi harus diakui ada muslim yang seperti itu.
Tapi di sisi lain ada juga muslim yang toleran, moderat, dan menerima keberagaman. Untungnya, tipe muslim ini yang mewakili muslim Indonesia di kancah internasional. Jadi, apa gerakan ini memang benar-benar peduli dengan muslim Indonesia?
Atau sekadar ingin menurunkan kepercayaan pemerintah di mata kelompok muslim Bagaimana menurut pendapat kamu?