DPR buka suara soal review makanan oleh influencer yang makin nggak terkendali. Review itu dinilai merugikan pelaku usaha. Jadi, Anggota DPR RI Komisi VI, Mufti Anam, lagi menyoroti kasus dugaan pemerasan oleh kreator konten ‘Code Blue’ yang lagi panas banget. Code Blue alias William Anderson dikenal sebagai reviewer makanan yang ulasannya tajam dan apa adanya. Dia aktif di Instagram dan TikTok dan sering review makanan tanpa nunjukin wajah. Awalnya, banyak yang suka karena ulasannya jujur banget.
Tapi belakangan, namanya trending gara-gara dugaan pemerasan. Dia diduga minta duit ke pemilik usaha kuliner buat hapus review negatifnya. Nominalnya sampai Rp 350 juta! Kasus yang menyeret nama Code Blue bermula dari videonya yang diposting pada 15 November 2024. Dia nge-review satu toko roti yang katanya ngasih nastar berjamur ke panti asuhan. Dia juga singgung dapurnya kotor banget. Toko kue yang diserang, CT, langsung membantah. Mereka bilang, nastar itu bukan dari mereka, tapi dari mantan karyawan vendor maintenance yang bertindak tanpa sepengetahuan manajemen.
Setelah rame, Code Blue akhirnya minta maaf lewat video. Tapi masalah belum selesai, justru makin panas. Soalnya muncul bukti chat yang nunjukin Code Blue minta uang buat hapus reviewnya. Jumlahnya bikin melongo: Rp 350 – 600 juta. Jumlah itu dikatakan sebagai ganti rugi biar videonya dihapus. Rosa, istri Code Blue, angkat bicara. Dia tegas bantah tudingan pemerasan. “Rp 350 juta itu bukan tebusan, tapi harga 8 konten,” katanya. “Jadi per konten Rp 43 juta, itu wajar buat influencer dengan followers lebih dari 1 juta,” lanjutnya. Menurutnya, rate card Code Blue itu bahkan udah didiskon. Dia juga bilang negosiasi batal dan uangnya nggak pernah diterima.
Nah, soal video permintaan maaf itu bukan karena pemerasan, katanya. Tapi karena ada kesalahan info yang disampaikan Code Blue. Menurut Mufti, Kementerian Perdagangan (Kemendag) kurang sigap mengantisipasi fenomena reviewer dan dampaknya bagi pelaku usaha. “Banyak influencer manfaatin celah hukum buat kepentingan pribadi,” katanya. Para pengusaha kuliner juga bersuara soal review makanan oleh influencer. Ci Mehong, pengusaha kuliner, bilang satu review buruk dari influencer bisa langsung matiin usaha kecil. “Kalau dibiarkan, mereka bisa seenaknya!” kata Ci Mehong di YouTube Feni Rose Official. Menurutnya, pemerintah harus bikin aturan yang lebih jelas buat menjaga keseimbangan.
Kasus ini bikin kita sadar, review makanan yang marak di media sosial butuh perhatian dari negara supaya dibuat regulasi yang nggak merugikan pelaku usaha. Dengan begitu, influencer nggak seenaknya memberi review yang berdampak negatif. Apalagi, review itu juga disinyair sebagai alat pemerasan terselubung. Tapi di sisi lain, pelaku usaha juga nggak boleh anti-kritik. Review yang jujur dari influencer tetap dibutuhkan sebagai referensi buat konsumen. Dan review juga bisa meningkatkan informasi tentang produk yang dijual.
Jadi, di satu sisi influencer harus menjaga integritas dan nggak memanfaatkan celah hukum buat keuntungan pribadi. Di sisi lain, kita selaku konsumen harus lebih kritis dengan konten review makanan yang dibuat influencer. Yuk, kita jaga bersama usaha kuliner Indonesia!