Dua Siswa SMK Dikeluarkan karena Acung Jari Tengah ke Guru, Sudah Tepat?

Published:

Apa yang dilakuin 2 siswa SMK ini emang kelewatan. Tapi apa harus dikeluarin? Jadi, baru-baru ini viral video dari Gowa, Sulawesi Selatan. Dalam video tampak seorang siswi SMKN 1 dengan santainya mengacungkan jari tengah ke seorang guru. Yes, literally mengacungkan jari tengah. Video itu pun langsung jadi sorotan luas netizen.

Siswi dalam video itu segera menyampaikan permintaan maaf melalui video. “Dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan memohon maaf sebesar-besarnya kepada guruku tersebut,” katanya. Siswi yang menyebarluaskan video itu juga menyampaikan permintaan maaf. Menurut Kepala SMKN 1 Gowa, Muchlis Jufri, aksi nggak terpuji yang dilakukan R dan direkam siswi berinisial N terjadi pada 30 Juli lalu. Itu bermula ketika guru yang diacungi jari tengah memberikan tugas ke semua siswa melalui grup WhatsApp beberapa hari sebelumnya. Di akhir chatnya, guru itu nulis selamat menjalankan tugas dan kirim emotikon.

Tapi si guru salah kirim. Yang seharusnya emot jempol, yang terkirim malah emot jari tengah. R dan N beserta orangtua masing-masing dipanggil pihak sekolah terkait video nggak terpuji itu. Setelah dibicarakan bareng guru, kepala sekolah, komite, dan orangtua R dan N, diputuskan R dan N dikeluarkan dari sekolah. Muchlis mengaku dua siswi itu akan tetap bersekolah di sekolah baru. Katanya, sudah sekolah yang bersedia menampung. Tapi, dia mengaku nggak mau terburu-buru memindahkan dua siswinya itu. Mereka, katanya, masih diberikan waktu buat introspeksi dan menenangkan diri sambil menunggu situasi lebih kondusif.
Jujur, kasus ini bikin mikir panjang karena ada dua sisi yang sama pentingnya. Satu sisi, apa yang mereka lakuin jelas nggak pantas. Mengacungkan jari tengah ke guru di depan umum dan direkam. Itu bukan cuma kurang ajar. Dan itu nggak bisa dibiarkan gitu aja. Tapi sisi lain, keputusan langsung dikeluarkan itu apa nggak terlalu keras? Nggak perlu dikasih kesempatan kedua?

Dunia pendidikan kita memang lagi diuji. Guru sering kali dihina, direndahkan. Tapi nggak ada konsekuensi serius buat pelakunya. Akibatnya, siswa merasa nggak perlu takut atau hormat sama guru. Tapi sekalinya siswa dikasih sanksi, sanksinya berat banget. Bisa dimaklumi juga kalau ada yang beropini, “Kasihan dong siswanya…” Dikeluarkan dari sekolah bukan satu-satunya bentuk pendidikan. Siswa juga harus diberikan ruang untuk refleksi dan perbaikan.
Ingat, pendidikan etik itu nggak datang dari hukuman doang. Tapi juga dari proses memahami kesalahan yang pernah diperbuat. Apalagi mereka sudah menyatakan permintaan maaf. Jangan sampai setelah dikeluarkan, mereka putus sekolah dan makin liar. Anak muda yang “diusir” tanpa didampingi, bisa berpotensi negatif. Mereka tumbuh jadi lebih keras, lebih sinis, dan mendendam.

Ada ruang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dalam menghadapi kasus ini. Misalnya, restorative justice, mediasi, program perbaikan sikap. Sekolah itu bukan cuma tempat anak-anak belajar di bangku kelas, tapi juga tempat belajar jadi manusia. Sekolah harus siap ngadepin anak yang melakukan kesalahan. Lalu membimbing mereka menyadari kesalahan yang sudah dilakuin dan menemukan versi terbaik mereka. Bukan sekedar ngasih stempel “gagal” dan tinggalin mereka. Yuk, jadi sekolah yang benar-benar hadir untuk siswa.

KATEGORI: P3ALD

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img