Jakarta, PIS – Oleh: Media Zainul Bahri*
Melihat perempuan Arab tidak memakai hijab, seperti calon menantu Raja Yordania Abdullah II; Ratu Rania, istri Raja Abdullah II; atau Ratu Asma Asad, istri Presiden Bashar Asad, dan puterinya, Zein al-Asad, mengingatkan saya pada catatan yang dibuat oleh sejarawan Profesor Ira Lapidus (1983).
Sejak era Khalifah-khalifah Abbasiyah, Lapidus menyebutnya sebagai “Islam istana”. Para aristokrat/bangsawan yang tinggal di istana-istana mewah masa Abbasiyah memiliki kebudayaan yang bersifat visual, sudah literate, punya perpustakaan besar, senang kepada filsafat, politik, militer, dan ilmu pengetahuan.
Mereka juga memiliki lukisan-lukisan mewah sebagai hadiah dari Raja-raja Romawi atau Persia. Mereka minum anggur dan, dalam beberapa hal, punya gaya hidup hedonis.
Bagi “Islam istana” atau kalangan istana, Islam adalah “identitas kosmopolitan” dan pandangan dunia yang sangat terbuka. Dalam konteks Islam istana inilah, kaum bangsawan istana senang mengundang para filusuf dan sufi-falsafi. Keduanya: aristokrat dan filusuf, memiliki minat yang sama terhadap filsafat, ilmu pengetahuan dan “Islam kosmopolitan”.
Nama-nama besar seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Ibn Arabi, Rumi, dan banyak lagi, disenangi dan dihormati oleh bangsawan istana. Sebagian para sufi dan filusuf itu juga minum anggur. Syair-syair sufistik Rumi, Sa’di Syirazi, atau Hafez Syirazi, banyak menggunakan alegori anggur dan mabuk kepada Tuhan.
Rumi, Sa’di dan Hafez misalnya, adalah sufi yang dekat dengan kehidupan istana karena dihormati oleh elit istana. “Islam istana”, atau “islam kosmopolitan” atau “Islam terbuka” adalah Islam hibrid: campuran dari berbagai budaya asing yang kemudian membentuk “Islam santai”, bukan Islam kaku, bukan Islam hitam-putih, bukan Islam ngotot atau Islam metenteng, kata orang Jawa.
Karena itu, tidak heran jika membaca catatan tentang Raja-raja atau Kesultanan di Jawa yang sudah “memeluk Islam” tapi karakter istananya tidak hilang. Aristokrat dan priyayi di istana itu hidup mewah. Minum arak atau anggur. Memiliki istri yang sah sekaligus selir-selir.
Pangeran Diponegoro, misalnya, seperti dalam catatan sejarawan Peter Carey, adalah santri muslim sejak remaja. Tapi kelak, setelah jadi tokoh agama dan politik, sang pangeran minum anggur Constantia bersama orang-orang Eropa (meskipun hal itu tidak jadi kebiasaannya yang berlebihan) dan memakai kalung emas yang dijepit oleh peniti dan dikaitkan dengan surjannya.
Juga Raden Mas Said Mangkunagara alias Pangeran Samber Nyawa, seperti dikaji oleh Ricklefs, adalah muslim yang sangat taat menjalankan rukun Islam. Bahkan ia juga menggalakkan khataman al-Quran dan zikir-zikir berjamaah. Tapi pada saat yang sama ia sangat menyukai minum Jenever (gin Belanda) atau minum-minuman keras yang lain dan main sabung ayam atau adu hewan yang lain. Ya, kebiasan para raja lah.
Jangan ditanya soal bahwa istri-istri dan selir-selir raja atau bangsawan lain memakai Jilbab seperti yang ada sekarang ini. Rasanya tidak mungkin. Meskipun saat itu sudah ada orang yang memakai cadar seperti dalam catatan Anthony Reid.
Lawan dari “Islam istana”, kata Profesor Lapidus, adalah “Islam kota”.
Islam kota dianut oleh para professional saat itu: ahli hukum, arsitek, insinyur, dokter. Kalau sekarang ada sarjana ahli padi, ahli buah, ahli informasi teknologi, ahli tambang, dan profesi lainnya. Islam kota dipimpin oleh para “ulama shaleh” yang selalu mengajarkan dan menekankan “hidup Islami” dengan cara selalu merujuk kepada al-Quran dan Sunnah.
Islam kota menolak “Islam istana”, “Islam filsafat” atau “Islam kosmopolitan”. Islam model begitu, bukan Islami, kata Islam kota.
Kalau sekarang, mungkin para tokoh Islam kota adalah ustadz Somad, ustadz Adi Hidayat, ustadz Khalid Basalamah, ustadz Firanda, ustadz Syafiq Basalamah dan lain-lain. Bagi Islam kota, semua kebudayaan di luar Islam “haram”!: filsafat haram; mengucapkan selamat Natal haram; masuk rumah ibadah orang lain haram; bergaul akrab dengan non-muslim haram; bunga bank haram; apalagi tidak pakai hijab, haram mutlak!
Semua aspek kehidupan sudah diatur oleh Islam sejak masa Nabi. Bagi Islam kota, kehidupan umat manusia seolah-olah supra-historis atau a-historis: sejak masa nabi sampai sekarang sama saja. Karena itu hidup yang benar adalah hidup Islami: mengikuti al-Quran dan Sunnah. Tidak perlu melihat konteks-konteks historis dan tidak perlu difilsafati, karena hal itu “tidak Islami”.
Hal menarik dicatat oleh sejarawan Anthony Reid, dalam Southeast Asia in the Age of Commerce (1993). Islam yang dianut di kota-kota pelabuhan abad ke-17 adalah model “Islam syar’i”. Model Islam inilah yang juga dianut oleh elit-elit Kesultanan Aceh, Banten, dan Makassar di abad ke-17.
Jadi, model “Islam kota” pada kasus ini adalah Islam yang dianut oleh masyarakat perkotaan pelabuhan/pesisir dan para sultan sekaligus. Kesultanan Aceh di abad ke-17 misalnya, jelas membangun peradilan-peradilan syariah yang menghukum muslim yang minum alkohol, menghukum mati pelaku zina yang sudah kawin, dan lain-lain.
Kesultanan Banten juga memberlakukan hukum Islam pada mereka yang menggunakan opium/ganja atau tembakau (maksudnya merokok?). Yang menarik adalah masa Kesultanan Hasanuddin di Makassar yang “memperhatikan” budaya Arab dalam soal pakaian perempuan. Bahkan, dalam catatan Reid pakaian perempuan muslimah di Makassar “tertutup seluruhnya dari kepala hingga kaki sedemikian rupa sehingga wajahnya pun tidak terlihat”.
Jadi, sudah ada kasus pemakaian cadar pada kesultanan Makassar pada abad ke 17. Di masa Sultan Hasanuddin juga dalam catatan Reid, kegiatan minoritas misionaris Katolik Portugis yang saat itu kuat, dibatasi.
Tapi jika menelaah tulisan Reid, sistem hukum di kota-kota pelabuhan yang pluralistik dan kosmopolitan tidak tunggal, alias yang ada bukan hanya hukum Islam. Orang boleh memilih hukum yang berlaku saat itu apakah buatan Belanda atau buatan Peradilan Syariah.
Seorang muslim yang membuat catatan harian di abad 17, seperti dicatat oleh Reid, membenarkan adanya pluralitas hukum di kota besar, “tetapi bagi Muslim harus mengikuti hukum Islam yang ditetapkan oleh kesultanan. Adalah syirik dan kafir apabila seorang muslim menyerahkan kasus hukumnya kepada seorang hakim kafir (Belanda)”.
Jadi, dalam konteks Islam di Nusantara, “Islam kota” model kesultanan Makassar, Banten, dan Aceh memang model “Islam Syariah”. Tapi dulu ya di era kerajaan. Sekarang kita sudah meninggalkan sistem kerajaan dalam ketatanegaraan kita.
Lagipula, dalam penjelasan Reid yang luas, model “Islam kota” itu tidak berlaku bagi kesultanan Mataram Sultan Agung dan mayoritas muslim di pedalaman/pedesaan dan muslim pesisir, baik di Jawa maupun luar Jawa. Mereka lebih senang mempratikkan apa yang disebut Ricklefs sebagai “sintesis mistik”.
Selain “Islam istana” dan “Islam kota”, mungkin ada kategori ketiga, yakni “Islam desa” atau “Islam wong cilik” atau “Islam santai”: dulu Islam desa ini model keislamannya santai, guyub, rukun, saling tolong, empati, dan karena dekat dengan alam (sawah, hutan, sungai, pohon-pohon besar), Islam desa juga sinkretik, tapi tetap menjalankan rukun Islam.
Dulu waktu sekolah dasar, saya punya teman namanya “Yahudi” dipanggil “Udi”. “Islam kota” biasanya parno mendengar kata “Yahudi”. Tapi dengan santai saja, muslim di desa malah menjadikannya nama anak. Apa tidak santai “Islam desa” ini?
Teman SD yang lain namanya “Syariah”, dipanggil “I’ah”. Syariah saja jadi nama anak di desa, apa kurang syar’i “Islam desa”? Tapi ya tetep santai.
*Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta.