Istilah “Poppo Siroyo” lagi viral di media sosial. Frasa ini berasal dari adegan di film “Laut Tengah” yang dirilis 3 Oktober 2024. Influencer Jang Hansol bikin reaction video soal adegan ini pada 1 Maret setelah dikirimi cuplikan oleh editornya. Adegan itu menampilkan Bhumi (Ibrahim Risyad), istrinya Haia (Yoriko Angeline), dan anak mereka yang bernama Suriah di dalam mobil.
Bhumi berkata dalam bahasa Korea, “Abah Poppo” yang artinya “cium abah”. Si anak menjawab “Siroyo,”. Pengucapan “Siroyo” yang diucapkan si anak dianggap salah karena pelafalan yang benar adalah “Shireo-yo.” Hansol juga menyoroti plat mobil yang memakai huruf Hangul “하 = Ha” diikuti angka. Di Korea, plat seperti itu dipakai untuk mobil sewaan, padahal di film ini seharusnya mobil pribadi.
Kesalahan seperti ini mengganggu pengalaman menonton, terutama bagi yang paham budaya Korea. Netizen langsung ramai-ramai berkomentar dan menjadikannya bahan bercandaan. Ada yang berkomentar “Jembatan Siroyo Mustakim” sebagai bentuk sindiran humor. Netizen lain menyebut “Siroyo aib negara banget” sebagai kritik satir. Bahkan ada yang menyindir dengan komentar, “Tolong Malaysia claim aja nih Siroyo.”
Pada 4 Maret, Hansol ngajak temannya yang asli Korea, Chanso, untuk reaction video ini. Begitu denger “Siroyo,” raut muka Chanso langsung bingung. Dalam film, penggunaan bahasa asing sering dipakai buat memperkuat karakter atau setting cerita. Karena berlatar di Korea, mungkin niatnya menunjukkan hubungan ayah-anak dengan sentuhan budaya Korea. Sayangnya, karena pelafalan kurang natural, malah bikin penonton merasa aneh.
Kesalahan ini biasanya karena kurangnya pelatihan bahasa bagi aktor atau minimnya konsultasi dengan ahli bahasa. Dengan riset lebih dalam, kesalahan ini bisa dihindari dan justru memperkaya cerita. Produksi film sebaiknya lebih teliti dalam menampilkan budaya asing agar hasilnya lebih autentik. Detail kecil seperti plat mobil mungkin terlihat sepele, tapi bisa mempengaruhi impresi penonton. Bagi yang paham budaya Korea, kesalahan ini bisa langsung bikin mereka gak mood menonton.
Sebagian besar netizen berkomentar dengan nada satir dan menjadikannya bahan lelucon. Kritik yang disampaikan lewat humor emang sih menghibur, tapi kalau berlebihan bisa jatuh ke bullying. Komentar seperti “aib negara” atau “biar Malaysia claim aja” terkesan merendahkan film Indonesia. Fenomena ini menunjukkan batas antara humor dan bullying bisa kabur di media sosial. Kritik yang membangun lebih efektif dibandingkan sekadar ejekan atau sindiran yang menyakitkan.
Buat sineas, ini bisa jadi masukan buat lebih teliti dalam membuat film berkualitas. Kesalahan seperti ini seharusnya bisa diminimalisir dengan melibatkan konsultan budaya atau native speaker. Banyak film sukses karena keakuratan budaya dan bahasa yang mereka tampilkan. Penonton semakin kritis dan menuntut film yang lebih berkualitas.
Buat netizen, kritik boleh, tapi kasih masukan yang membangun biar industri film Indonesia makin maju. Film yang bags tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan impresi bagi yang menontonnya. Kesalahan teknis sebaiknya jadi pelajaran, bukan hanya bahan ejekan semata. Industri film Indonesia punya potensi besar untuk berkembang, asal lebih teliti dan terbuka terhadap kritik.
Semoga kedepannya film Indonesia lebih teliti dalam menampilkan budaya asing. Maju terus film Indonesia!