Kacau! Kok Bisa Anak SMA Nggak Hafal Perkalian?

Published:

Parah! Udah SMA tapi belum juga hafal perkalian dasar. Fenomena ini terlihat dari banyak konten di media sosial. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi aja sampe heran loh. Postingan akun instagram psnews.id pada 7 Januari lalu nunjukin Kang Dedi lagi nanya ke satu anak soal perkalian dasar. ”Setahun tuh berapa bulan?” tanya Kang Dedi yang dijawab si anak ”12 bulan”. ”Nah kalo 2 tahun?” tanya nya lagi dan si anak langsung terlihat kebingungan. ”Parah bener kamu SMA nya, matematikanya. Setahun kan 12 bulan, 2 tahun tuh berapa bulan?” tanya nya, dan si anak tetap diam. ”Diam aja, ini kan logika matematikanya udah parah banget. Buat SMA Cibatu, latih matematika anak-anaknya ya”, ujarnya.

Ada juga satu postingan dari @livekalimantanborneo pada 9 Februari lalu yang nampilin sekumpulan anak SMA lagi main games perkalian dasar. Pas ditanya, nggak ada yang bisa jawab. ”6 kali 3 berapa?” ujar si penanya dan dijawab siswi pertama 28, baru setelah beberapa kali percobaan akhirnya dijawab 18. ”3 kali 8 berapa” dijawab siswa kedua 27. Akun instagram @andromeda_mercury juga bikin konten reaksi dimana dia nonton beberapa video yang nampilin kurangnya pengetahuan dasar anak Indonesia. Ada yang gabisa jabarin kepanjangan MPR dan PLN, disuruh sebut satu negara di Eropa nyebutnya Garut, salah baca jam analog dimana harusnya pukul 12:19 tapi dijawab 12:59.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim aja pernah salah jawab operasi berhitung. Jadi di video @gemari_tematik1 pada 2 November 2024 lalu ada sesi diskusi antara Nadiem dan influencer Jerome Polin. Disitu Jerome nanya 1 ditambah 1 dikali 0 berapa dan Nadiem jawab 0, padahal harusnya 1, karena dikali dulu baru ditambah. Fenomena ini nunjukin ada masalah sistemik dalam sistem pendidikan Indonesia. Ini bukan sekadar “anak-anak malas belajar,” tapi lebih karena kegagalan sistem pendidikan dalam membangun fondasi pengetahuan yang kuat. Makanya literasi dasar mereka rendah, baik di pengetahuan umum maupun matematika.

Coba bandingin sama negara lain, yaitu Finlandia, Jepang dan Singapura. Finlandia: pr nya sedikit, tapi pembelajaran berbasis eksplorasi dan pemecahan dan gurunya mendapat pelatihan ketat dengan standar tinggi. Singapura: kurikulum matematika sangat menonjolkan pemecahan masalah, pendidikannya menekankan logika dan pemahaman mendalam. Nggak sekedar ngerjain soal ujian aja. Jepang juga perkalian dasarnya dihafal kok, tapi pake metode sempoa. Yang terpenting, metode pengajaran mereka berbasis pemecahan masalah.

Gimana sama pendidikan Indonesia? Pembelajarannya masih berorientasi nilai dibanding konsep dan terlalu banyak mengejar target kurikulum tanpa pemahaman mendalam. Serta kurangnya metode pengajaran yang menarik dan berbasis eksplorasi. Tentu kita tak ingin Pendidikan kita makin terperosok. Saatnya kita harus mengevaluasi besar-besaran sistem pendidikan kita. Jangan ada lagi gonta-ganti kurikulum hanya karena perubahan Menteri. Jangan jadikan Pendidikan kita hanya punya target sebatas “asal naik kelas,” Jika itu terjadi , kita cuma jadi penonton di era persaingan global. Yuk benahi pendidikan dari akarnya!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img