Kalau Mengaku Bagian NKRI, Aceh Seharusnya Tidak Boleh Melarang Gereja

Published:

Apakah boleh warga Aceh menolak pembangunan gereja? Jawabannya, pasti tidak berhak. Tapi sayangnya pelarangan gereja nampaknya masih terus terjadi di wilayah itu. Sekarang ini misalnya beredar lagi video pelarangan pembangunan gereja yang diduga terjadi di Aceh. Video ini diposting akun instagram @kristen.protestan pada 3 April lalu. Dalam video itu, terlihat para warga terlihat mengerumuni satu lahan yang akan dijadikan bangunan gereja. Bahkan nggak sedikit yang membawa senjata tajam. Tertera tulisan di video itu: ”Aceh menolak pembangunan gereja”.

Sebagian besar netizen di kolom komentar mendoakan agar Aceh segera dijamah Tuhan. Tapi ada juga yang rupanya mendukung pelarangan gereja. Akun @an.aristini01 misalnya menulis: “Kalian sudah tau Aceh itu syariat Islam dan ada aturan. Kalau ingin tinggal di Aceh ikuti peraturan yg ada,” “Sudah tau Aceh 99 % muslim masih saja kalian ngotot,” katanya lagi. “Aceh itu kerajaan Islam, apakah kami menyuruh kalian duduk di Aceh tidak kan? Apakah kami ada bunuh org nonmuslim, tidak kan? Kami hanya minta ikuti aturan Aceh. Gak senang di Aceh, tinggal minggat!” tulis aristini.

Pertanyaannya: apakah benar dalam hukum Aceh, ada larangan pembangunan gereja? Sebenarnya tidak. Dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), Aceh diberi kewenangan menjalankan syariat Islam untuk Muslim. Aceh kemudian bikin Peraturan Daerah terkait Syariat Islam yang dikenal dengan Qanun (Perda Syariah). Tapi dalam Qanun pasal 125 juga dikatakan non-Muslim tidak harus tunduk pada Qanun Syariat, dan tetap dilindungi menjalankan agamanya.

Memang ada beberapa Qanun yang sempat jadi sorotan. Misalnya saja, Qanun Busana Islami dan Larangan Khalwat yang mewajibkan perempuan berpakaian sesuai syariat Islam. Qanun ini dipermasalahin karena melanggar hak atas ekspresi dan kebebasan berpakaian. Terutama jika diterapkan terhadap wisatawan atau non-Muslim. Tapi secara formal dan legal, gaada peraturan daerah (qanun) yang secara eksplisit melarang pembangunan gereja di Aceh. Memang dalam implementasinya, pemerintah daerah lah yang sering menghambat secara administratif.

Diskriminasi terhadap umat Kristen juga berulang terjadi. Misalnya Peristiwa Aceh Singkil (2015). Sejumlah gereja dibongkar karena dianggap tidak memiliki izin resmi. Namun secara hukum, terlihat bahwa pendirian gereja sebenarnya dimungkinkan. Tapi secara sosial-politik cukup sensitif dan butuh pendekatan diplomatis, legal, dan kultural yang bijak. Jadi sebenernya Qanun-qanun di Aceh nggak secara eksplisit menyebut larangan gereja. Cuma masalahnya tidak ada mekanisme perlindungan yang kuat untuk minoritas.

Bahkan lembaga sekelas Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pemerintah Pusat gabisa batalin Qanun-qanun begitu aja. Itu karena Aceh memang diakui secara konstitusional sebagai daerah otonomi khusus. Kita harus tegas menolak segala bentuk pelarangan beribadah dan pembangunan rumah ibadah yang melanggar konstitusi. Tapi kita juga harus menghormati mekanisme hukum dan administratif yang ada. Yang terpenting, otonomi boleh, tapi gaboleh lepas dari prinsip umum NKRI dan HAM.

Pemerintah pusat (Kemenag, Kemendagri, Komnas HAM) harus melakukan beberapa upaya. Menyediakan mekanisme pelaporan dan pendampingan hukum bagi warga minoritas di Aceh. Serta pastiin pelaksanaan Qanun tidak diskriminatif dan tidak memaksa keyakinan mayoritas ke minoritas. Stop pelarangan pembangunan rumah ibadah!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img