Kampus Muhammadiyah Dilarang Beri Gelar Profesor Kehormatan Sembarangan

Published:

Perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) dilarang ngasih gelar profesor kehormatan ke siapa pun. PTMA dilarang ikut-ikutan perguruan tinggi lain yang kasih gelar profesor kehormatan ke tokoh besar. Pemberian gelar kayak gini dinilai bisa ngilangin marwah institusi pendidikan. Pernyataan ini dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir. “Profesor itu melekat sama profesi dan institusinya, itu jabatan!” tegas Haedar. Haedar melarang PTMA terjebak dalam tren ngasih gelar profesor kehormatan secara sembarangan. “Ini demi menjaga marwah dan kekuatan PTMA,” tegas Haedar. Dia bahkan bilang pesan ini sebagai ‘perintah ketua umum’, walaupun belum ada surat keputusan resmi terkait pesan ini.

Apa yang dikatakan Ketum PP Muhammadiyah ini penting banget. Apa yang dikatakannya adalah cermin komitmen Muhammadiyah dalam menjaga integritas akademik di PTMA. Selama ini, kalangan akademisi Indonesia khawatir soal tren pemberian gelar profesor kehormatan secara sembarangan. Pemberian gelar ini diduga jadi alat transaksi antara petinggi kampus dengan pihak tertentu yang pengen manfaatin gelar itu. Pemberian gelar ini juga dikhawatirkan bikin dosen males mencapai jabatan akademik tertinggi lewat jalur yang seharusnya. Nggak bisa dipungkiri, gelar profesor kehormatan dimanfaatkan pihak tertentu untuk meninggikan branding-nya. Pihak yang paling mencolok memanfaatkannya adalah politikus. Misalnya, gelar profesor kehormatan pernah dikasih kepada Siti Nurbaya Bakar dan Surya Paloh.

Dua nama itu adalah politisi dari partai yang sama, yaitu Nasdem. Surya bahkan Ketua Umum Nasdem. Universitas Brawijaya (UB) ngasih gelar profesor kehormatan kepada dua nama itu pada tahun 2022. Pemberian gelar itu direspons negatif mahasiswa (UB) dan akademisi pada umumnya. Mereka mempertanyakan urgensi pemberian gelar itu dan motif di baliknya. Sebelum larangan ini keluar, PTMA diketahui pernah ngasih gelar profesor kehormatan ke beberapa tokoh. Pendakwah Adi Hidayat pada tahun 2023. Tokoh Muhammadiyah Said Tuhuleley, pada tahun 2014. Politikus dan mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad pada tahun 2016.

Civitas academica Universitas Gadjah Mada (UGM) juga punya sikap yang sama dengan Muhammadiyah dalam soal isu ini. Puluhan dosen UGM dari berbagai fakultas menyatakan penolakan pemberian gelar profesor kehormatan ke orang-orang dari sektor non-akademik, termasuk pejabat publik, pada Februari 2023. Menurut mereka, profesor itu jabatan akademik yang harus dijalani dengan kewajiban akademik yang susah banget dipenuhi kalau orang itu aktif di luar dunia akademik.

Memang gelar profesor kehormatan diakui dalam peraturan di Indonesia. Itu terlihat dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 38 Tahun 2021. Tapi syarat untuk mendapatkannya nggak gampang. Di antaranya harus punya karya dan kontribusi besar dalam bidangnya. Artinya, orang itu harus punya pengalaman profesional, keilmuan, atau keahlian luar biasa dan diakui secara nasional atau internasional. Syarat lainnya, nggak melanggar etika akademik dan hukum. Artinya, orang itu nggak terlibat pelanggaran hukum, etik, atau kasus korupsi. Riwayat hidupnya juga harus bersih dari pelanggaran yang mencemarkan dunia akademik.

Apa yang dilakukan Ketum PP Muhammadiyah adalah sikap proaktif buat ngehindarin kesan ‘bagi-bagi gelar’ di kampus mereka. Ini nimbulin persepsi kalau pemberian gelar itu buat kepentingan non-akademik. Ini bisa nyebabin independensi dan integritas akademik di institusi pendidikan tinggi jadi menurun. Apa yang dilakukan Muhammadiyah ini patut diapresiasi. Dan yang terpenting, langkah Muhammadiyah ini diikuti perguruan tinggi lainnya. Pemberian gelar profesor kehormatan sah untuk dilakukan. Tapi tetap harus mengikuti syarat dan kriteria yang ketat dan objektif. Salut buat Muhammadiyah!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img