Kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia menurun dalam tiga tahun terakhir. Ini temuan penelitian Imparsial, LSM yang fokus memantau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Salah satu perhatian utama Imparsial adalah kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB). Menurut Imparsial, pencapaian ini salah satunya karena hasil kerja keras Polri, terutama di bawah kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, mengapresiasi capaian Polri dalam menekan kasus pelanggaran KBB. Menurut data, pada 2021 ada 28 kasus, turun menjadi 23 pada 2022, lalu 18 kasus di 2023.
Meskipun pada 2024 hingga November tercatat 20 kasus, tren penurunan ini tetap jadi sinyal positif. Ardi menyoroti peran Polri yang pro-aktif, seperti memediasi konflik berbasis agama dan memfasilitasi dialog antar kelompok. Contohnya, kasus di Tulang Bawang, Lampung, tahun 2021. Saat itu, ada penolakan ibadah Natal oleh sekelompok warga terhadap jemaat Gereja GPI. Polisi bertindak tegas, menangkap pelaku penghasutan, dan memastikan hak beribadah tetap terlindungi. Tapi sayangnya, tekad Polri ini nggak berjalan mulus di lapangan.
Contohnya, pada tahun 2023, di Kulon Progo, DIY, patung Bunda Maria ditutup karena tekanan ormas. Publik mengkritik tindakan ini sebagai bentuk intoleransi. Polri dalam kasus ini dianggap gagal menjamin hak minoritas. Evaluasi internal pun dilakukan untuk memperbaiki penanganan kasus seperti ini. Imparsial juga mengapresiasi langkah Polri yang membentuk unit keamanan berbasis kerukunan di daerah-daerah rawan konflik agama. Kepolisian terlihat jalanin pendekatan preventif, salah satunya lewat program safari Jumat. Dalam kegiatan Safari Jumat, polisi berkunjung ke masjid-masjid.
Mereka berdiskusi dengan tokoh agama dan memberikan materi tentang pentingnya toleransi. Tapi Imparsial mencatat, masih ada favoritisme terhadap kelompok mayoritas. Kadang, pendekatan Polri lebih berfokus pada menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat daripada memastikan HAM terlindungi. Kita berharap Polri di masa mendatang lebih progresif. Kebijakan yang diambil semua anggota Polri harus berpedoman pada prinsip-prinsip HAM. Dengan begitu, penanganan konflik berbasis agama menjamin keadilan bagi semua pihak, tanpa keberpihakan. Jangkauan program dialog dan pendidikan toleransi juga semakin diperluas. Harapannya, kebebasan beragama benar-benar bisa dirasakan semua kelompok, tanpa kecuali. Tapi, langkah-langkah itu akan semakin berarti bila kita, civil society, juga ikut membantu kepolisian memastikan HAM terlindungi.
Selama ini dipercaya kelompok yang intoleran di Indonesia itu minoritas. Masalahnya, mereka lantang bersuara dan militan di lapangan. Ditambah mereka juga sering mencatut dan mengaku-aku mewakili mayoritas. Sebaliknya, kelompok yang pro toleransi di Indonesia itu mayoritas. Cuma, mereka suka diam dan enggan bersuara, silent majority. Sudah saatnya silent majority ini menunjukkan kehadirannya dengan bersuara lantang setiap muncul kasus pelanggaran hak kebebasan beragama. Dengan begitu, Polri mendapat suntikan darah segar untuk selalu memastikan HAM terlindungi. Bagaimanapun, tinggi-rendahnya kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama adalah tanggung jawab kita semua.
Yuk, kita terus jamin dan perjuangkan hak semua kelompok, apapun agamanya!