Sebagian tentara Israel kini nampaknya sudah muak dengan kekejaman pemerintah mereka terhadap rakyat Palestina. Dikabarkan, sekitar seribu tentara Israel yang masih aktif dan sudah pensiun menandatangani sebuah surat yang meminta pemerintah Israel mengakhiri perang di Gaza. Seruan tersebut membuat marah pimpinan Israel. Kepala staf militer Israel mengeluarkan ancaman bahwa mereka yang menandatangani surat tersebut akan diberhentikan. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga bersuara keras dan menyebut para penandatangan surat tersebut sebagai “kelompok ekstremis yang mencoba untuk menghancurkan masyarakat Israel dari dalam”. Netanyahu menuduh surat itu dibuat oleh “Kelompok pinggiran yang berisik” yang dimobilisasi untuk satu tujuan, yaitu menggulingkan pemerintah.
Gelombang penolakan perang memang semakin meluas di Israel. Sejak Oktober 2023, Israel sudah menggempur warga Palestina yang berdiam di Gaza. Selama sekitar 14 bulan, Israel membunuh lebih dari 42 ribu warga Palestina dan membumihanguskan Gaza tanpa henti. Pemerintah Israel selalu berdalih mereka berusaha mengejar dan menghancurkan kelompok Hamas yang berlindung di balik warga sipil di Gaza. Tapi bukti menunjukkan, yang menjadi sasaran utama adalah warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan.
Sebenarnya gencatan senjata di Gaza sudah tercapai pertengahan Januari lalu. Terdapat tiga tahap gencatan senjata disepakati. Di tahap pertama, Israel menghentikan operasi militer dan menarik pasukan dari daerah padat penduduk Gaza. Di tahap itu, juga akan berlangsung pertukaran tahanan dan narapidana antara kedua pihak. Jika proses tahap pertama berjalan baik, maka di tahap kedua Hamas akan membebaskan seluruh tahanan Israel. Pada tahap kedua, Israel akan memulai proses penarikan penuh tentaranya dari Gaza. Pada tahap ketiga, Gaza akan direkonstruksi selama 3-5 tahun dengan dukungan internasional, serta penghentian total pengepungan Gaza.
Namun pada pertengahan Maret, Israel tiba-tiba kembali melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza. Setidaknya lebih dari 400 warga Palestina tewas dan 562 terluka akibat serangan itu. Serangan itu membuat banyak pihak percaya Israel memang tidak sungguh-sungguh ingin melakukan gencatan senjata permanen. Menurut The Guardian, Israel kini memiliki kemampuan yang tidak dimilikinya enam minggu lalu. Stok amunisi telah diisi ulang setelah adanya pengiriman dari AS. Israel diduga mendapat dukungan penuh dari pemerintahan Trump untuk melancarkan serangan baru terhadap Hamas. Pejabat Israel telah menegaskan bahwa serangan itu hanyalah awal dari serangan yang berpotensi jauh lebih luas yang akan terus berlanjut.
Aksi militer Israel ini yang kini menimbulkan protes kolektif bahkan di kalangan militer Israel sendiri. Para pemrotes menganggap serangan ke Gaza “terutama melayani kepentingan politik dan pribadi, bukan kepentingan keamanan”. Surat kabar Israel Haaretz melaporkan komandan senior di angkatan udara Israel, telah menelepon dan bertemu dengan perwira dan prajurit cadangan yang menandatangani surat protes. Para penandatangan menyatakan hanya perundingan yang dapat membawa kembali para sandera dengan aman. Mereka percaya tekanan militer hanya akan mengakibatkan pembunuhan para sandera dan membahayakan prajurit. “Setiap hari yang berlalu membahayakan nyawa para prajurit dan sandera yang masih ditahan,” kata mereka. Haaretz mengatakan hanya 25 orang yang menarik kembali tanda tangan mereka setelah mendapat tekanan dari komandan Angkatan Udara Tomer Bar. Solidaritas kita untuk Palestina!