Guru besar UGM, Edy Meiyanto, melakukan kekerasan seksual kepada mahasiswinya. Total korbannya 15 orang. Dilaporkan, ada 33 kali kasus kekerasan seksual yang dilakuin Edy. Artinya, 1 orang mahasiswi lebih dari sekali jadi korban. Kasus kekerasan seksual yang dilakukan guru besar fakultas farmasi itu terjadi sejak tahun 2023. Modus yang dilakukan Edy mengajak mahasiswinya diskusi soal kegiatan dan lomba serta bimbingan akademik di rumahnya. Padahal, aktivitas itu cuma boleh dilakuin di dalam kampus. Ketika diskusi dan bimbingan, Edy ngerayu dan ngelakuin tindakan bejatnya.
Edy memijat tangan mahasiswinya. Dia juga membelai rambut mahasiswi dari balik jilbab yang digunakan mahasiswinya. Dia juga memegang pipi dan wajah mahasiswinya. Dia bahkan mencium pipi mahasiswinya. Tindakan bejat itu juga dilakukannya di kampus. Dia menyuruh mahasiswinya cek tensi darah biar bisa pegang tangan korban. Dia juga sering memaksa korban mengirim foto pribadi korban dan mengontak malam-malam. Korbannya bukan cuma mahasiswi S1. Tapi juga mahasiswi S2 dan S3.
Kasus kekerasan seksual yang dilakuin Edy baru dilaporkan ke fakultas farmasi pada Juli 2024. Kasus itu kemudian ditangani Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM. Satgas lalu meminta keterangan kepada para korban secara terpisah. Satgas juga memeriksa Edy, para saksi, dan bukti pendukung. Satgas kemudian menyatakan Edy terbukti melakukan kekerasan seksual. Edy juga terbukti melanggar kode etik dosen. Berdasarkan putusan satgas itu, pimpinan UGM memberhentikan Edy secara tetap dari jabatan sebagai dosen. UGM juga diwajibkan terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan para korban sesuai dengan kebutuhan para korban melalui satgas.
Pemecatan Edy sebagai dosen direspons positif seorang korban. Menurutnya itu melegakan karena dia nggak ingin korban semakin bertambah di fakultas farmasi. Alumni fakultas farmasi pun ikut bersuara. Banyak dari mereka yang nge-post berita pemecatan Edy di media sosial dan ngasih dukungan ke korban. Tapi, penanganan kasus ini yang butuh waktu dua tahun disorot banyak pihak. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mempertanyakan kenapa laporannya dari tahun 2023, tapi Edy baru dijatuhi sanksi tahun 2025. JPPI mendesak supaya kasus ini juga diproses secara hukum pidana untuk menciptakan efek jera.
Sebagian korban menuntut pencabutan status PNS Edy. Soalnya mereka mendengar Edy lagi mengurus pendaftaran buat mengajar di kampus lain. Mereka minta status PNS-nya dicabut biar nggak bisa lagi mengajar di institusi pendidikan manapun. Anggota Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, juga menuntut hal yang sama. Dia mendesak Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) Edy dicabut total. Kewenangan ini ada di tangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Sekretaris Jenderal Kemendikti Saintek, Togar Simatupang, bilang proses pencopotan status ASN Edy bisa memakan waktu 3 sampai 6 bulan.
Mudah-mudahan Kemendikti Saintek mendengar tuntutan korban dan kemarahan publik atas kasus ini. Sehingga sanksi yang berat yang dijatuhkan kepada Edy sekaligus mengirim pesan kepada para dosen yang jadi predator seksual. Bahwa mereka juga akan mengalami nasib tragis seperti Edy, cepat ataupun lambat. Yuk, lawan predator seksual di kampus!
**KATEGORI: P3ALD**