Jakarta, PIS – Lagi-lagi ada kasus pemaksaan jilbab di sekolah. Di Sragen, Jawa Tengah, seorang siswi SMAN berinisial S dirundung guru matematikanya karena tidak memakai jilbab.
S dimarahi di depan kelas, pada akhirnya enggan berangkat ke sekolah. Setelah rasa takutnya sedikit reda, S kembali memberanikan diri untuk masuk sekolah. Tapi, sekarang kakak kelasnya yang gantian membullynya.
S tertekan dan stres, dia akhirnya minta dijemput pulang dan nggak mau lagi masuk sekolah. Kisah tragis itu tidak hanya terjadi pada S, tapi juga pada adiknya yang bersekolah di tempat yang sama.
Melihat kakaknya dirundung oleh guru dan kakak kelas, sang adik juga nggak berani masuk sekolah. Orang tua S yang berinisial AP telah mengadukan dugaan perundungan ini ke Polres Sragen.
Setelah tahu dilaporkan, Guru matematika berinisial S itu akhirnya meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam peristiwa bullying tersebut.
Komisioner KPAI Retno Listyarti mencatat ada kasus serupa di Gemolong, Sragen, pada 2020 lalu. Saat itu siswa akhirnya mutasi ke sekolah lain akibat perundungan karena tidak memakai jilbab di sekolah.
“Kasus ini menunjukkan bahwa literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum cukup baik,” kata Retno. Kondisi itu akhirnya memberi kontribusi terjadinya intoleransi.
Misalnya pelarangan maupun pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain. Menurut Retno, masih sedikit kehadiran pemimpin-pemimpin nasional dan lokal yang bijaksana.
“Kehadiran mereka sangat dibutuhkan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya,” katanya. Sering kali aturan seragam di sekolah merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah di wilayah itu. Itulah yang menyebabkan kasus pemaksaan atau pelarangan jilbab di sekolah sering terjadi.