Mengarah ke Tawuran, Perang Sarung Ramadhan 2025 Makan Korban

Published:

Berawal dari tradisi iseng di bulan Ramadhan, perang sarung kembali memakan korban, bahkan berujung duka. Korbannya, seorang remaja berumur 14 tahun, Muhammad Hilman Herdian. Korban ditemukan meninggal di TPU Caringin Kurung, Kuningan, pada 7 Maret pagi. Sebelumnya, pada 6 Maret malam, Hilman ikut perang sarung antara anak-anak RT 01 dan RT 09 di lingkungannya. Saat kelompoknya kalah, mereka bubar dan kabur. Tapi anehnya, Hilman nggak kembali bareng teman-temannya. Pagi harinya, warga dikejutkan dengan penemuan mayat Hilman di areal pemakaman.

Awalnya, diduga kuat, Hilman meninggal karena dianiaya saat perang sarung. Tapi hasil autopsi menunjukkan Hilman nggak mengalami luka berat akibat kekerasan. Dokter kemudian menyimpulkan kematian Hilman akibat penyakit bawaan yang diderita Hilman. Diduga, Hilman jatuh saat kabur dan nggak mendapat pertolongan pertama, yang akhirnya membuatnya meninggal. Meski bukan karena penganiayaan, perang sarung tetap jadi pemicu tragedi ini. Belakangan, perang sarung menjadi tren anak-anak remaja saat Ramadhan, dan terjadi di banyak daerah.

Di Boyolali, polisi menangkap 27 pemuda yang membawa sarung yang diisi batu. Perang sarung di sana bukan lagi sekadar permainan, tapi sudah mirip tawuran. Di Purwakarta dan Subang, perang sarung makin sering terjadi selama Ramadan 2025. Polisi berkali-kali membubarkan aksi ini dan mengamankan puluhan remaja demi mencegah bentrokan lebih besar.

Beberapa daerah mulai bertindak tegas, kayak Surabaya. Mereka gencar melakukan patroli malam, walaupun masih banyak saja anak yang nekat main kucing-kucingan dengan petugas. Akhirnya mereka menemukan cara unik untuk menghukum mereka. Mereka yang tertangkap dikenakan sanksi sosial merawat Orang dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos), termasuk memandikan dan membersihkan kamar mereka. Tujuannya, biar mereka sadar kalau aksi mereka bisa berujung pada konsekuensi serius. Para pelaku juga diajak ke pemakaman untuk merenung di depan kuburan. Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, bilang metode ini lebih efektif dibanding sekadar hukuman fisik atau teguran keras.

Buat orang yang tumbuh besar di Indonesia, perang sarung bukan hal asing. Awalnya ini cuma tradisi Ramadan, sekadar hiburan di malam hari pakai sarung yang digulung atau diikat. Sekarang, perang sarung bukan lagi main-main, ini udah jadi ajang tawuran yang makan korban. Banyak yang luka-luka, ditangkap polisi, bahkan sampai kehilangan nyawa.

Fenomena ini jadi alarm buat semua pihak. Orang tua harus lebih waspada, karena perang sarung sering dilakukan tengah malam atau subuh. Sekolah dan komunitas bisa bikin kegiatan Ramadhan yang lebih positif, kayak pesantren kilat atau lomba yang lebih bermanfaat. Aparat tetap perlu bertindak tegas tapi dengan pendekatan edukatif, bukan sekadar menghukum tanpa memberi efek pembelajaran. Tokoh agama dan masyarakat juga bisa turun tangan buat mengedukasi anak-anak tentang bahaya perang sarung.

Ramadan seharusnya jadi bulan penuh berkah dan kedamaian, bukan ajang tawuran yang mengatasnamakan tradisi. Kesadaran bersama adalah kunci, supaya nggak ada lagi korban. Yuk, stop perang sarung sebelum ada korban lagi!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img