Penganut Yahudi Ortodoks di New York Demo Kecam Kekejaman Israel

Published:

Wah, kaum Yahudi di Amerika mengecam kebijakan Israel. Bukannya orang Yahudi biasanya dukung Israel? Tunggu dulu! Nyatanya, pada 19 Oktober lalu, ribuan pria dari komunitas Yahudi Ortodoks (haredi) berkumpul di depan Konsulat Israel di Manhattan, New York. Mereka memprotes rencana pemerintah Israel yang akan mencabut pengecualian wajib militer bagi pelajar yeshiva.

Yeshiva sendiri adalah lembaga pendidikan agama Yahudi yang fokus mempelajari Taurat dan Talmud. Bisa dibilang mirip pesantren dalam tradisi Islam—tempat belajar agama penuh waktu. Aksi damai ini dipimpin Central Rabbinical Congress of the U.S.A. and Canada (CRC) serta komunitas Hasidic Satmar. Hasidic Satmar memang dikenal dengan pandangan anti-Zionis di kalangan Yahudi Ortodoks. Dalam aksi itu, mereka membawa spanduk dan meneriakkan slogan menolak wajib militer.

Alasannya, kewajiban itu dianggap mengganggu kehidupan religius mereka yang berpusat pada studi Taurat. Para rabbi menegaskan bahwa Negara Israel adalah entitas politik, bukan perwakilan ajaran Yahudi. Mereka menolak Zionisme karena dianggap bertentangan dengan Yudaisme sejati. Menurut mereka, bangsa Yahudi hanya boleh kembali ke Tanah Suci setelah kedatangan Mesias, bukan lewat kekuatan manusia. Wajib militer bagi pelajar yeshiva pun dipandang sebagai pemaksaan yang melanggar keyakinan mereka.

Aksi itu diikuti ribuan peserta dan sempat memenuhi jalan-jalan sekitar konsulat. Polisi New York sampai harus mengatur arus lalu lintas agar situasi tetap tertib. Banyak orang masih salah paham, mengira semua Yahudi otomatis mendukung Israel. Padahal, dalam komunitas Yahudi sendiri ada perbedaan besar antara Yudaisme, Zionisme, dan Negara Israel.

Yudaisme adalah agama kuno yang berpusat pada hubungan manusia dengan Tuhan melalui hukum dan moral. Sementara Zionisme adalah gerakan politik modern yang muncul di Eropa abad ke-19 sebagai respons terhadap diskriminasi. Tokohnya seperti Theodor Herzl bukan pemuka agama, tapi aktivis sekuler. Zionisme lebih menekankan nasionalisme Yahudi, bukan ajaran spiritual. Negara Israel yang berdiri pada 1948 adalah hasil dari gerakan itu. Bagi sebagian Yahudi sekuler, Israel adalah rumah bagi bangsa mereka. Tapi bagi banyak Yahudi Ortodoks, pendirian negara itu justru menentang kehendak Tuhan. Mereka percaya bahwa Tuhan sendirilah yang akan memulihkan bangsa Yahudi lewat Mesias, bukan lewat politik atau peperangan.

Karenanya mereka kerap berkata, “Israel tidak mewakili Yahudi, dan Zionisme bertentangan dengan Yudaisme.” Maksudnya, menjadi Yahudi adalah soal iman, bukan soal mendirikan negara. Bagi mereka, mencampur agama dengan kekuasaan duniawi justru merusak makna spiritual Yudaisme. Sejumlah Yahudi Ortodoks menilai tindakan militer Israel terhadap Palestina bertentangan dengan ajaran kasih sayang dalam Taurat. Mereka khawatir dunia mengira semua Yahudi setuju dengan kekerasan itu, padahal tidak demikian. Dalam ajaran mereka, menindas manusia lain—siapapun dia—adalah dosa besar.

Jadi, ketika mereka menolak Israel dan Zionisme, itu bukan karena membenci sesama Yahudi. Tapi karena ingin menjaga kemurnian ajaran agama dari campur tangan politik. Mereka menegaskan bahwa iman dan negara adalah dua hal yang berbeda. Menjadi Yahudi berarti taat pada Tuhan, sementara Israel hanyalah proyek politik manusia. Perselisihan ini menunjukkan bahwa komunitas Yahudi sendiri tidak tunggal. Ada yang menganggap Israel sebagai perlindungan, ada juga yang melihatnya sebagai penyimpangan dari jalan ilahi.

Nilai-nilai Yudaisme sejati adalah keadilan, kasih, dan kemanusiaan. Berangkat dari nilai-nilai itu, aksi genosida di Palestina jelas melanggar ajaran Yudaisme. Solidaritas untuk Palestina!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img