Jakarta, PIS – Ada tren menarik di kalangan perempuan Arab Saudi belakangan ini. Perempuan Saudi ramai-ramai memotong pendek rambut mereka. Tren ini terlihat mencolok, terutama, di kalangan perempuan pekerja di Riyadh, Ibukota Saudi.
Gaya rambut ‘boy’ ini disukai seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja perempuan di Saudi. Rambut pendek dianggap alternatif yang praktis dan profesional dibanding gaya rambut panjang.
Salah satu perempuan Saudi yang memotong pendek rambutnya adalah Safi. Dokter rumah sakit di Riyadh itu sebelumnya berambut panjang hingga bagian leher. Jika tren itu terjadi di Indonesia, mungkin nampak biasa saja.
Tidak ada yang istimewa. Masalahnya, itu terjadi di Saudi yang dikenal sebagai negara berpaham Wahabi yang membatasi dan meminggirkan kaum perempuan. Namun sejak 2018, pengaruh doktrin itu dikikis Putra Mahkota, Mohammed bin Salman (MBS), dengan mencanangkan agenda reformasi.
Agenda reformasi itu dituangkan dalam Visi 2030 yang di antaranya ingin memperbaiki kualitas kehidupan rakyat Saudi dan menarik investasi dari dalam dan luar negeri. Sejumlah langkah pun diambil yang berdampak pada perubahan budaya di negara itu. Di antaranya, memberi kesempatan yang luas kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam program-program pembangunan di segala bidang.
Termasuk memberi perempuan keleluasaan dalam berpakaian yang disukai selama tetap menjaga kesopanan. Karena itu, MBS terang-terangan menyatakan perempuan harus dibebaskan dalam hal berpakaian.
Menurutnya, sepanjang perempuan mengenakan pakaian yang sesuai dengan norma-norma kepantasan dan etika publik di Saudi, itu sudah cukup. Berpakaian bagi perempuan, juga bagi laki-laki, adalah pilihan individu, bukan paksaan.
Sejak saat itu, perempuan Saudi tidak perlu dan tidak harus lagi mengenakan abaya, hijab, apalagi cadar. Tidak hanya itu, MBS juga membatalkan aturan-aturan lain yang membatasi ruang perempuan.
Perempuan diizinkan bekerja di berbagai sektor publik, termasuk menjadi pasukan keamanan. Hingga menonton pertandingan olahraga dan konser musik yang bercampur dengan penonton laki-laki. Terlepas apapun motif yang dianggap melatarinya, yang jelas, agenda reformasi MBS sudah mengubah kiblat keislaman Saudi dari ultra konservatif menjadi moderat.
Salah satu dampak yang terasa, suara dan peran kaum perempuan jadi semakin didengarkan dan diperhitungkan. Mudah-mudahan agenda reformasi MBS juga dibawa oleh pelajar dan ustadz di kampus-kampus yang terafiliasi dengan Saudi. Kalau Saudi mau jadi moderat, masa kita mau jadi ultra konservatif?