Lagi ramai nihh, fenomena pemecatan pekerja Gen Z di berbagai perusahaan. Fenomena ini muncul setelah diungkap Intelligent, sebuah platform konsultasi pendidikan dan karier. Intelligent menyebut sekitar 6 dari 10 perusahaan telah memutus hubungan kerja dengan lulusan universitas yang baru mereka rekrut. Alasannya sih katanya karena kurangnya motivasi, profesionalisme yang rendah, serta keterampilan komunikasi yang buruk.
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga APINDO, Sarman Simanjorang bilang, para pekerja Gen Z cenderung gak mau terikat sama satu perusahaan. Mereka cenderung memilih bekerja tidak hanya di satu tempat, tapi di beberapa tempat. “Ketika mereka sudah menyelesaikan pekerjaan sebelum jam kantor berakhir, mereka memanfaatkan sisa waktu untuk pekerjaan lainnya,” jelas Sarman. Kondisi itu ditunjang dengan teknologi yang semakin maju, sehingga kerja pun lebih fleksibel. Ini yang bikin para pekerja Gen Z memanfaatkan fasilitas seperti perangkat elektronik dan jaringan internet untuk bekerja dari mana saja.
Sementara Sekjen Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menganggap pemecatan terhadap Gen Z bukan semata – karena kinerja Gen Z buruk. Tapi lebih karena ketidaksesuaian antara harapan perusahaan dan budaya kerja yang diinginkan generasi muda ini. Menurut Angga, Gen Z ini terkenal sebagai generasi yang adaptif terhadap teknologi, kreatif, dan berorientasi pada fleksibilitas kerja. Cuma karena kurang pengalaman, ekspektasi yang tinggi terhadap budaya kerja fleksibel, serta kesenjangan antara hard skills dan soft skills jadi kendalanya. Selain itu, tantangan komunikasi interpersonal dan manajemen waktu juga menjadi jadi faktornya. Walaupun mahir dalam teknologi dan inovasi, beberapa keterampilan soft skills pekerja Gen Z dinilai kurang. Seperti kemampuan bekerja dalam tim dan konsistensi dalam menyelesaikan tugas.
Namun, pengusaha tidak memandang fenomena ini secara negatif. Anggawira menekankan bahwa Gen Z itu inovatif dan bisa membawa perspektif baru yang sangat berharga bagi perusahaan. Namun, ia juga menegaskan pentingnya peningkatan profesionalisme di kalangan pekerja Gen Z. Kemampuan seperti manajemen waktu yang baik, disiplin kerja, dan etika profesional masih menjadi tantangan yang harus diatasi. Makanya, kata Angga, sekarang banyak perusahaan di Indonesia yang mulai menerapkan strategi lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan generasi muda. Program pembinaan, pelatihan, dan mentoring jadi langkah utama membantu pekerja Gen Z mengembangkan keterampilan mereka.
Jadi situasinya saat ini, banyak perusahaan merasa Gen Z punya cara kerja yang terlalu santai dan cenderung ingin hasil instan. Sementara dari sisi Gen Z Banyak perusahaan masih mengandalkan cara kerja lama, seperti jam kerja dari jam 9-to-5 atau tugas yang terlalu administratif, padahal Gen Z lebih suka efisiensi dan teknologi. Sementara perusahaan merasa Gen Z sering multitasking secara berlebihan. Mereka sering main game atau scroll media sosial saat jam kerja, yang dinilai mengurangi produktivitas. Sementara Gen Z cenderung belajar lewat kolaborasi dan bimbingan langsung. Kalau perusahaan nggak menyediakan sistem mentorship yang baik, mereka mungkin terlihat “kurang inisiatif.”
Jadi, solusinya harus ada jembatan komunikasi yang baik. Perusahaan harus fleksibel memahami nilai kerja Gen Z, sementara Gen Z harus belajar bagaimana memenuhi ekspektasi profesional. Kolaborasi adalah kunci kesuksesan sebuah perusahaan.
Yuk saling berkolaborasi!