Jakarta, PIS – Sidang gugatan terhadap sejumlah pasal dalam UU Perkawinan masih terus bergulir. Sejumlah pasal dalam UU Perkawinan digugat seorang warga bernama Ramos Petege sejak Februari 2022. Ia gagal menikahi kekasihnya yang beragama Islam karena UU Perkawinan tidak mengakomodasi pernikahan beda agama.
Agenda sidang pada 27 Juni lalu mendengar para ahli yang mendukung perkawinan beda agama. Ada dua ahli yang dihadirkan. Dosen Universitas Indonesia, Risa Permanadeli, dan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.
Risa menyatakan pernikahan beda agama tidak bisa dihindari di negara majemuk, seperti Indonesia. Menjadi bangsa yang majemuk berarti setiap warga berpeluang bertemu dengan orang lain yang berbeda latar sosial darinya.
Apalagi pertemuan itu semakin dimungkinkan dalam arus globalisasi seperti sekarang. Pertemuan itu akan saling mengasah, saling bersanding, dan berjalan bersama demi membangun sebuah bangsa, termasuk membangun keluarga. Pertemuan itu tidak bisa dihindari, mengingat watak dasar kita sebagai bangsa majemuk.
UU Perkawinan yang melarang pernikahan beda secara tidak sadar mengingkari watak dasar kita yang majemuk dan itu mempraktikkan kembali politik segregasi. Kita membangun bangsa yang saling menutup diri, saling menolak, dan saling membangun prasangka kelompok.
Fenomena itu dalam skala terbatas sebenarnya sudah terjadi. Tidak sedikit pemilik kos kosan yang secara terang terangan memasang plang khusus Muslim atau khusus Nasrani belakangan ini.Risa memohon agar pernikahan beda agama dikabulkan Majelis Hakim.
Demi melindungi hak dan kewajiban setiap warga yang hidup dalam perbedaan untuk satu tujuan bersama menjadi Indonesia. Terpisah, Usman mengulas hukum Islam soal pernikahan dan membandingkannya dengan hukum internasional.
Menurutnya, ada konsensus dalam hukum Islam bahwa perempuan muslim dilarang menikah dengan laki-laki non-muslim. Sebaliknya, laki-laki muslim dibolehkan menikahi perempuan non-muslim. Pertanyaannya, apakah perbedaan itu dimaksudkan untuk diferensiasi atau diskriminasi.
Jika itu diskriminasi, jelas ditolak dalam hukum internasional. Tapi jika itu diferensiasi, maka gugur dengan berubahnya konteks yang melatari. Diferensiasi dimungkinkan dilakukan saat itu demi melindungi keyakinan agama dan hak perempuan Muslim.
Tapi sekarang, perlindungan terhadap perempuan sudah diberikan hukum internasional dan hukum Indonesia. Selain berhak memeluk agama sesuai keyakinannya meski terikat dalam pernikahan beda agama, perempuan juga bisa mengakses pendidikan, mengakses ekonomi, dan lainnya. Beri ruang bagi pernikahan beda agama.