Setelah Kafe dan Restoran, LKMN Target Hotel soal Tagihan Royalti Musik

Published:

Kafe udah, restoran udah. Sekarang, giliran hotel yang jadi target tagihan royalti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Jadi, para pengusaha hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat, lagi panas-dingin.

Mereka kaget sekaligus bingung ketika terima surat tagihan royalti dari LMKN. Tagihan ini datang tanpa sosialisasi sebelumnya. Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa, bilang teman-teman hotel anggota AHM udah dikirimi surat LMKN.

Menurut LMKN, semua usaha yang menyediakan sarana hiburan kayak musik itu wajib bayar royalti musik. Para pengusaha hotel protes karena mereka nggak memutar musik secara khusus di hotel mereka. Tapi LMKN punya alasan yang bikin geleng-geleng kepala. Dikatakan, di kamar hotel ada TV. Nah, dari TV itulah tamu bisa dengerin musik. Meskipun hotel nggak sengaja mutar musik, tapi karena ada TV di kamar yang bisa dipakai untuk dengerin musik, otomatis kena tagihan royalti.

Sistem perhitungan royaltinya berdasarkan jumlah kamar yang dimiliki hotel. Dari 0 sampai 50 kamar kena tarif sekian Rupiah, terus 50 sampai 100 kamar kena tarif lagi yang berbeda. Dan ternyata aturan ini udah berlaku. Makanya, hotel-hotel udah mulai dikirimin surat tagihan sama LMKN.

Yang bikin para pengusaha hotel kesal, cara penagihan LMKN ini kayak nagih utang gitu. Salah satu anggota AHM, pemilik Hotel Arianz Mataram, cerita petugas LMKN nagih sambil, “kapan mau dibayar?” Para pengusaha hotel minta ruang untuk diskusi dulu sebelum dipaksa bayar. Mereka bilang udah ada pernyataan dari Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) soal ini. Bahkan, udah ada gugatan di Mahkamah Konstitusi terkait royalti musik ini.

Makanya mereka mau tunggu sampai situasinya clear dulu sebelum bayar. Para pengusaha hotel nggak nolak bayar royalti kalau aturannya udah jelas dan dasar hukumnya kuat. Yang mereka minta adalah mekanisme penagihan yang transparan dan komunikatif, bukan tiba-tiba nagih kayak debt collector.

Sejauh ini, hotel-hotel besar yang jadi sasaran utama surat tagihan royalti musik dari LMKN. Yang bikin para pengusaha hotel bingung, logika LMKN yang bilang TV di kamar hotel bisa jadi alasan kena royalti musik. Padahal TV itu fasilitas standar hotel. TV di kamar hotel bukan fasilitas khusus buat muter musik dan bukan buat hiburan musik aja.

Para pengusaha hotel merasa diperlakukan nggak adil karena mereka nggak secara aktif menyediakan hiburan musik. Banyak yang khawatir kalau preseden ini bakal dipake LMKN buat nagih bisnis lain yang punya TV atau perangkat elektronik yang bisa mutar musik.

Apa yang menimpa para pengusaha hotel di Mataram jadi bukti aturan royalti musik masih butuh perbaikan dalam implementasinya. Sosialisasi dan mekanisme penagihan yang lebih manusiawi dan profesional jadi poin penting yang paling harus diperhatikan. Batas-batas kewajiban royalti ini kepada pelaku usaha harus diperjelas. Apakah semua perangkat yang bisa mutar musik bakal kena tagihan royalti? Juga kejelasan mekanisme pembayaran dan periode penagihan.

Semuanya harus ditemukan solusi yang win-win buat semua pihak. Jangan ada satupun pihak yang dirugikan, entah itu pencipta musik, pelaku usaha, dan pihak terkait lainnya. Aturan penagihan royalti pada dasarnya dibuat untuk menghormati dan mensejahterakan pencipta musik. Tapi kalau aturan dan penagihannya seperti sekarang, itu justru akan menjauhkan karya mereka dari café, resto, dan hotel. Yuk, rancang bersama aturan soal tagihan royalti yang menguntungkan semua pihak!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img