Sumatera Barat adalah provinsi ke-5 dengan jumlah LGBT terbanyak di Indonesia. Diperkirakan jumlahnya sekitar 18 ribu orang. Data ini diposting akun Instagram fakta_random22 pada 16 Februari lalu. Provinsi terbanyak ke-4 menurut postingan itu Jakarta dengan jumlah 43 ribu orang. Provinsi terbanyak ke-3 Jawa Tengah dengan jumlah 218 ribu orang. Provinsi ke-2 Jawa Timur dengan jumlah 300 ribu orang. Dan provinsi pertama adalah Jawa Barat dengan jumlah 302 ribu orang. Postingan itu sudah ditonton lebih dari 900 ribu kali.
Masalahnya, dalam postingan itu nggak tercantum sumber data itu. Masa data sepenting itu nggak disebut sumbernya? Kan kita perlu tahu, data itu hasil riset dari lembaga riset apa? Lembaga risetnya kredibel nggak? Dan datanya reliable nggak? Pun ketika ditanya sumber data itu di kolom komen, admin akun itu sama sekali enggak jawab. Kalo dilacak di Google, ditemukan beberapa media yang memuat data yang sama persis dengan postingan itu, di antaranya timenews.co.id. Bahkan di media itu disebut jumlah LGBT di Indonesia sekitar 3% dari total populasi. Kalo total populasi di Indonesia itu 280 juta, maka populasi LGBT menurut media itu sekitar 8 juta lebih.
Masalahnya, media-media itu nggak menyebut sumber data ini. Di Tribun Padang, justru dikatakan jumlah terbanyak LGBT di Indonesia itu ada di Sumatera Barat. Data itu dikutip Tribun Padang dari mantan Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Arbit, berdasarkan data hasil tim konselor penelitian perkembangan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Dari situlah keluar angka LGBT di Sumatera Barat tercatat sebanyak 18.000 orang. Apakah data itu realibel? Tentu butuh dikaji lebih jauh.
Masalahnya, bikin riset soal seberapa banyak LGBT di Indonesia itu nggak gampang. Lebih gampang bikin riset soal seberapa banyak pemilih Anies-Cak Imin, pemilih Prabowo-Gbiran, atau Ganjar-Mahfud, misalnya. Masyarakat yang terpilih jadi responden nggak punya beban untuk menjawabnya. Beda ceritanya kalo masyarakat ditanya soal gender dan seksualitasnya. Masyarakat pasti nggak akan se-terbuka dibanding menjawab soal pilihan politiknya dalam pilpres. Mereka sulit menjawab jujur atau cenderung menghindarinya. Itu bisa dipahami karena LGBT itu dipandang negatif banget di Indonesia.
Kaum LBGT takut kalo mereka jujur soal gender dan seksualitas mereka, bakal berdampak buruk. Mereka berpotensi jadi korban stigma, diskriminasi, dan yang paling parah persekusi. Karena itu, kalo ada data yang mengklaim jumlah pasti LGBT di Indonesia ya nggak usah dipercaya-percaya amat. Apalagi kalo data itu diikuti dengan jumlah penderita penyakit seks menular, seperti HIV/AIDS. Seolah LGBT sama dengan HIV/AIDS. Padahal HIV/AIDS bisa menjangkiti siapa saja yang aktivitas seksualnya nggak aman. Bisa dari kalangan LGBT dan bisa juga dari kalangan non-LGBT.
Butuh prakondisi supaya kita punya data soal LGBT di Indonesia yang benar-benar bisa dipercaya. Di antaranya, masyarakat harus didorong terbuka soal gender dan seksualitasnya. Dan untuk sampai ke sana, LGBT harus nggak dipandang lagi sebagai sesuatu yang negatif, menyimpang, atau menjijikkan. Selama prakondisi itu belum terpenuhi, jangan harap kita punya data riset soal LGBT yang benar-benar bisa dipercaya. Yuk, hormati keberagaman ekspresi gender dan seksualitas.