Yakin Indonesia menjalankan demokrasi dan kebebasan beragamanya secara baik? Kalau jawaban Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, sih belum. Ini terbukti dari banyaknya diskriminasi agama dan rakyat yang terpaksa meyakini agama yang diakui di Indonesia. Nah, kemarin, Pigai akhirnya usulin wacana penting buat tanganin konflik ini. Yakni, mencetus ‘Undang-Undang (UU) Kebebasan Beragama’ di Indonesia.
Sebenernya, UUD 1945 sudah menjamin kebebasan beragama. Tapi menurut Pigai, aturan yang ada belum cukup buat melindungi hak masyarakat dalam menjalankan keyakinannya. Selama ini, ada beberapa UU yang mengatur soal ini. Seperti UU Hak Asasi Manusia, UU Penodaan Agama, UU Administrasi Kependudukan dan UU Penanganan Konflik Sosial. Tapi Pigai menilai, UU yang sudah ada justru mengandung pembatasan yang seharusnya nggak ada. Sementara, negara harusnya nggak boleh mengatur atau membatasi keyakinan seseorang.
“Kalau Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama itu seakan-akan kita menerima fakta adanya pengekangan kebebasan beragama,” ucap Pigai. Pigai jelasin, ada dua tujuan mengapa UU ini perlu dipertimbangkan dibuat. Pertama, bisa mengatasi diskriminasi pada kelompok beragama minoritas atau mereka yang menganut kepercayaan di luar agama resmi yang diakui negara. Kedua, UU ini bisa ningkatin indeks demokrasi Indonesia yang sempat turun menurut The Democracy Index 2024. Soalnya sampai saat ini masih banyak masalah dalam kebebasan sipil, termasuk kebebasan beragama. Selain itu, Pigai juga kasih rekomendasi untuk merevisi beberapa peraturan. Seperti Peraturan Kapolri soal ujaran kebencian hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Nah tapi, nggak semua orang setuju sama usulan ini.
Menurut Anggota Komisi XIII DPR, Mafirion, usula Menteri HAM, Pigai itu nggak urgen. Mafirion menilai Indonesia udah cukup bebas beragama tanpa perlu UU baru. Baginya, UUD 1945 dan UU HAM udah cukup mengatur soal ini. Menurut dia, bikin UU baru malah bikin aturan makin numpuk dan susah diawasin. Ada juga kekhawatiran kalau UU ini malah bikin perdebatan baru soal batasan kebebasan beragama. Dia justru minta Pigai buat lebih fokus urus konteks HAM yang lebih substantif. “Misalnya indeks HAM kita yang turun, iya kan? Lebih bagus itu,” ucap Mafirion.
Tapi ya, kalau kita lihat dari sisi positifnya, ada beberapa manfaat dari usulan UU Kebebasan Beragama ini. Contohnya, bisa mengatasi diskriminasi administratif, misalnya pencantuman identitas kepercayaan di KTP atau pendirian tempat ibadah. Bisa meningkatkan indeks demokrasi Indonesia yang belakangan turun. Memastikan negara netral dalam urusan keyakinan tanpa membatasi agama hanya pada yang diakui pemerintah.
Kalau usulan ini beneran masuk ke DPR, pasti bakal ada perdebatan panjang. Bakal ada pertanyaan seperti; emang kita selama ini nggak bebas beragama? Bisa juga memicu perdebatan baru soal batasan kebebasan beragama, terutama dalam konteks hubungan agama dan negara. Usulan UU ini juga dikhawatirkan membuka ruang bagi ajaran atau kelompok yang dianggap menyimpang tanpa kontrol yang jelas. Tapi bagi pihak pro, UU ini penting buat menjamin kebebasan beragama beneran ada, bukan cuma di atas kertas. Apalagi kenyataan di lapangan, masih banyak kasus di mana kebebasan beragama dipertanyakan. Mulai dari sulitnya pendirian rumah ibadah, diskriminasi dalam administrasi kependudukan, hingga tekanan sosial bagi kelompok minoritas.
Intinya, negara harus buktiin kalau kebebasan beragama bukan sekedar jargon. Tapi implementasi hak fundamental juga wajib dijamin oleh negara dengan aturan yang lebih konkret. Jadi, menurut kalian, kita butuh UU Kebebasan Beragama atau nggak? Komen di bawah ya!