Jadi Artis pendukung Palestina ternyata punya risiko serius. Ini yang terjadi pada Iyah May, musisi perempuan asal Australia. Dia lagi jadi perbincangan setelah lagunya yang berjudul “Karmageddon” meledak di media sosial. Dalam lagu itu, dia jelas-jelas mengecam kejahatan Israel di Palestina
“More than war it’s genocide, this is Karmageddon,” bunyi lirik itu. Kalau di Indonesiakan, artinya adalah: “Ini bukan lagi sekadar perang melainkan genosida, ini adalah Karmageddon”. Di bait lainnya dia juga bersuara: “Anak-anak terbunuh akibat aksi Israel”. Sebetulnya dalam lagu itu, bukan cuma soal Israel yang diangkat. Dia juga memuat kritik terhadap perusahaan farmasi besar, virus buatan manusia dan menyerang fenomena cancel culture. Tapi yang paling diributin soal konflik di Palestina. Istilah Karmageddon itu sendiri berasal dari kata Armageddon, yang datang dari Kitab Perjanjian Baru.
Arti asli Armageddon adalah perang terakhir kekuatan kebenaran melawan kejahatan menjelang hari kiamat. Bisa dibilang Iyah menggambarkan konflik di Palestina sebagai perang menjelang hari akhir tersebut. Perusahaan rekaman meminta agar Iyah mengubah lirik itu. Tapi Iyah menolak permintaan itu. Akibatnya, manajer Iyah memutus kontraknya. “Aku putus kontrak sama manajer karena dia nggak setuju sama lirik ‘Karmageddon’,” tulisnya di Instagram. “Dia bakal terus dukung aku kalau aku mau ubah liriknya. Jadi aku bilang ‘BYE!’” lanjutnya.
Apa yang dilakukan Iyah ini luar biasa berani ya. Dia kehilangan dukungan manajamen yang besar karena pembelaannya terhadap nasib orang-orang Palestina yang jadi korban kebiadaban israel. Tapi dia mengaku tidak akan menyerah. Kini dia sepenuhnya independen dan terus mempromosikan lagunya secara mandiri. Di Instagram, dia menyuarakan rasa terima kasih kepada penggemarnya.
“Terima kasih telah mendukung lagu ini. Perjalanannya nggak mudah. Gila banget, kejujuran bisa bikin orang semarah ini” tulisnya.
Iyah, yang bernama asli Marguerite Clark, punya cerita hidup yang nggak kalah menarik. Perjalanan musiknya dimulai dengan modal nekat saat jadi mahasiswa kedokteran di New York. Di sana, ia bertemu rapper Shaggy, dan momen itulah yang membuka jalannya di dunia musik. Sebelum dikenal sebagai musisi, Iyah bekerja sebagai dokter di tengah pandemi COVID-19. Btw ya, dukungan pada Palestina bukan pertama kalinya disuarakan oleh musisi dunia. Green Day, band punk rock legendaris, juga ikut nyuarain hal serupa. Di Festival Corona Capital, 15 November lalu di Meksiko, Billie Joe Armstrong ngubah lirik “Jesus of Suburbia.” Lirik aslinya itu “From Anaheim to the Middle East”. Tapi di panggung itu, Billie nyanyiin: “From Palestine to the Middle East”. Aksi mereka langsung viral di TikTok dan media sosial lainnya. Banyak yang salut sama keberanian mereka. Tapi, ada juga yang skeptis, mempertanyakan apakah aksi ini bakal berdampak negatif ke karier Green Day.
Tapi sejauh ini, nggak ada tanda-tanda penurunan popularitas. Bahkan, mereka terus aktif tur dan siap ngerilis karya baru. Iyah May dan Green Day cuma dua dari sekian banyak seniman yang berani ngomong soal Palestina. Lewat musik, mereka ngajak kita lihat kebenaran yang sering ditutupi. Musik itu punya kekuatan besar. Lebih dari sekadar hiburan, musik bisa jadi alat perlawanan. Iyah dan Green Day ngingetin kita semua, bahwa diam bukan pilihan saat ketidakadilan ada di depan mata. Ketika ketidakadilan berlangsung di depan mata, suara harus dilantangkan.
Yuk suarakan solidaritas kemanusiaan!