Pemerintah Prabowo dituduh mengancam kebebasan berekspresi gara-gara adanya pembatalan pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta. Pemerintah dianggap otoriter membatalkan pameran karena di dalam pameran pelukis kawakan itu ada karya yang menghina Jokowi. Padahal yang melarang sebenarnya bukan pemerintah. Yang keberatan dengan isi pameran tersebut adalah kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo. Suwarno, yang juga seniman senior, menganggap lukisan Yos itu terlalu vulgar dan memuat makian. Kurator menganggap karya-karya itu tidak sejalan dengan judul besar pameran.
Judul pamerannya kan Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan. Tapi kok ada lukisan yang vulgar dan merendahkan Jokowi. Karena Yos tak bersedia menurunkan lukisan bermasalah itu, akibatnya Suwarno mundur. Akibatnya lagi, Galeri Nasional membatalkan acara itu. Soalnya, bagi mereka, pendapat kurator itu sangat penting.
Dalam acara pameran kesenian saat ini, kurator adalah pihak yang diminta menilai, memilih dan menentukan karya-karya mana saja yang layak ditampilkan. Jadi kalau kurator menganggap karya yang ditampilkan tidak layak, Galeri pun terpaksa berpikir ulang. Apalagi Galeri Nasional Indonesia adalah sebuah lembaga budaya negara. Galeri Nasional menyatakan tidak membatalkan, tapi menunda walau jadwal pastinya belum bisa dipastikan. Ada dua lukisan yang paling dipersoalkan Kurator.
Konoha 1 dan Konoha 2. Dalam Konoha 1, tampak ada seorang penguasa berwajah seperti Jokowi. Dia duduk dengan pakaian raja Jawa menginjak sejumlah pria kesakitan yang memohon mohon pertolongan. Di belakang Jokowi, berdiri rombongan tentara yang siap menggunakan senjata api mereka. Dalam Konoha 2, terlihat dua pria telanjang sedang berbincang. Mereka dikelilingi kerumunan manusia yang berusaha mendekat dan sebagian bahkan menjilat pria telanjang tersebut. Satu dari pria tersebut menggunakan topi yang mirip dengan postur topi raja jawa.
Hampir pasti yang dimaksud adalah Jokowi. Suwarno menganggap dua lukisan itu tidak pantas. Yos tidak terima dengan penilaian negatif terhadap karya-karyanya. Di konferensi persnya, dia membantah tuduhan bahwa dia melontarkan makian dalam lukisannya. Dia juga membantah bahwa isi lukisannya menyindir Jokowi, atau bahkan ditujukan kepada penguasa tertentu. Ini agak mengherankan sih. Sebagai seniman, Yos seharusnya mengakui saja bahwa dalam lukisannya, memang termuat pernyatan politik terhadap Jokowi. Kenapa Yos takut untuk mengakui bahwa dia memang menganggap Jokowi menindas rakyat?
Yos sendiri bukanlah pelukis baru.
Berusia 72 tahun, Yos sudah menjadi pelukis yang kerap menyuarakan kritik sosial melalui karyanya sejak Orde Baru. Ia pernah terlibat sebagai aktivis mahasiswa yang menentang rezim Soeharto dan terlibat sebagai kontributor majalah bawah tanah independen. Yos mendapat gelar PhD bidang Sosiologi Kebudayaan dari Southern James Cook University, North Queensland, Australia. Ia pernah tinggal di Australia selama 25 tahun. Jadi kalau dia sekarang kembali mengecam melalui lukisan, tentu itu bukan hal yang terlalu janggal. Yang jadi masalah barangkali, keputusannya untuk menaikkan lukisan yang merendahkan Jokowi itu dilakukan tanpa kesepakatan dengan kurator.
Hal sederhana, tapi menentukan. Pemerintah sendiri membantah telah membredel acara itu. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menyatakan tetap mendukung kebebasan berekspresi. Tidak ada pembungkaman, tidak ada briedel, ujarnya. Bagaimanapun, tata krama tetap harus dipertahankan.
Yuk Bersikap Jujur dalam Berekspresi!