Penolakan bernuansa sara terhadap pasangan gubernur terpilih Maluku Utara, Sherly Tjoanda-Sarbin Sehe, kembali terjadi. Kali ini dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Maluku Kie Raha. Ada dua alasan kenapa mereka menolak Sherly, katanya demi menjaga hukum adat dan kepemimpinan Islam. Ini disampaikan oleh Kapita atau Panglima Sultan Tidore, Muhammad Ali Alting. Dua komponen itu katanya merupakan dasar tatanan masyarakat Moloku Kie Raha sejak masa monarki hingga era demokrasi. Ali nyebut kalo federasi kerajaan Islam di Moloku Kie Raha yang terdiri dari Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan berdiri di atas prinsip kepemimpinan Islam.
“Pemimpin di wilayah ini harus sesuai dengan hukum adat dan prinsip kepemimpinan Islam,” ujar Ali. Sementara dalam maklumatnya ada empat poin utama alasan mereka menolak pasangan Sherly – Sarbin.
Pertama, menolak kepemimpinan non-muslim, karena dianggap gak sejalan dengan hukum adat yang berlaku.
Kedua, mereka meminta pemerintah dan partai politik untuk menghormati hukum adat dalam menentukan calon pemimpin.
Ketiga, mereka meminta warga kembali memegang teguh nilai-nilai adat untuk menjaga stabilitas politik dan sosial.
Dan terakhir, mereka tegasin kalau tidak menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin adalah bagian dari wasiat leluhur Moloku Kie Raha.
Menurut Ali adalah suara hati masyarakat adat yang ingin mempertahankan identitas budaya dan religius wilayah mereka. Maklumat itu rencananya bakal dikirim ke Presiden Prabowo Subianto, Menko Polhukam Budi Gunawan, dan pimpinan DPR-MPR RI. Di alam demokrasi, penolakan berdasarkan sara sangat gak pantas dillakukan. Apalagi, keterpilihan itu sudah melalui mekanisme demokrasi yang sudah sesuai konstitusi.
Penolakan berdasarkan sara, hanya akan memecah belah bangsa ini. Kemenangan pasangan Sherly – Sarbin memang di luar perkiraan sebagian warga Malut. Ini karena Sherly double minority. Sherly seorang non muslim, juga berasal dari etnis Tionghoa. Sementara penduduk Provinsi Malut 75 persen adalah beragama Islam. Menjelang pemilihan, identitas Sherly sebagai perempuan, minoritas agama, dan etnis—jadi bahan cibiran di media sosial. Di satu sisi, masyarakat Malut sangat memegang nilai-nilai adat dan agama. Tapi semua itu tidak menghalangi kemenangan pasangan Sherly – Sarbin.
Yang fenomenal, kemenangan mereka diperoleh dengan beda suara yang sangat jauh. Sherly – Sarbin memperoleh suara 51 persen, sementara pesaing terdekatnya hanya memperoleh suara 25%. Secara demografi, Sherly – Sarbin juga memperoleh kemenangan yang sangat telak. Mereka memenangkan 8 dari 10 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Malut. Dengan kemenangan telak itu, mengada-ngadalah kalau sebagian masyarakt muslim di sana terus melakukan penolakan. Apalagi dengan alasan sara.
Ini tentu akan menjadi tugas berat Sherly – Sardin. Bagaimana dia harus mengedukasi warganya untuk menerima keberagaman masyarakat Malut. Di samping tugas berat mereka mewujudkan janji-janji kampanye. Mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Malut. Yuk masyarakat muslim Malut, terima kemenangan Sherly – Sardin. Mari focus membangun daerahnya. Keberagaman, adalah keniscayaan Indonesia!