Merayakan Imlek itu bukan merayakan momen sakral agama tertentu. Tapi di Indonesia Imlek kadung dianggap perayaan agama tertentu. Akibatnya, banyak warga Tionghoa yang Muslim dihujat gara-gara ikut rayakan Imlek.
Contohnya yang dialami Lilik Sugianto Lie. Lilik adalah Muslim Tionghoa yang udah masuk Islam sejak kecil. Sejak kecil pula, Lilik nggak lepas dari tradisi Imlek. Dia ikut merayakan Imlek bareng keluarganya di klenteng. Lilik sering banget dihujat sama sesama Muslim karena tradisinya itu. “Yang nggak boleh itu kamu. Saya berdarah China, jadi ya memang kewajiban saya melestarikan budaya,” kata Lilik tegas.
Cerita pilu yang sama juga dialami Melinda. Di keluarganya, dia satu-satunya yang mualaf dan berjilbab. Saat Imlek tahun 2017, dia ikut merayakan Imlek di satu kelenteng bareng keluarganya. “Ke kelenteng kok pake jilbab?” teriak orang kepadanya. Melinda hampir meledek, apalagi teriakan itu ada bumbu rasialismenya. Untungnya Melinda bisa mengendalikan dirinya. Dia juga menganggap ikut Imlek itu untuk menghormati leluhurnya aja. “Di kelenteng, saya bakar hio, tapi doa saya ke Allah. Karena kalau nggak ada Allah, saya juga nggak ada,” lanjut Melinda.
Lalu Lilies Kurnia yang sudah jadi mualaf sejak menikah pada 1997, tapi baru benar-benar mendalami Islam setelah cerai pada 2006. “Saya galau, jadi belajar agama. Ada yang bilang, nggak boleh lagi rayain Imlek karena itu agama lain,” kata Lilies. Akhirnya, Lilies sempat nggak ikut Imlek selama 2 tahun. Gara-gara itu dia malah menjauh dari keluarganya. Dia pun bingung dan mulai mencari-cari jawaban. Dia lalu pergi ke Masjid Lautze di Jakarta, masjid yang terkenal dengan arsitektur China, untuk menemukan jawaban. Di sana, dia ketemu Ali Karim Oei, penasihat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). “Pak Ali bilang, ‘Imlek itu bukan perayaan agama, itu budaya,'” kata Lilies.
Lebih jauh Ali bilang etnis Tionghoa yang Muslim bisa memanfaatkan perayaan Imlek untuk bersilaturahmi dengan keluarganya yang non-muslim. “Saat Imlek, keluarga besar biasanya berkumpul. Mungkin keluarganya ada yang belum memeluk Islam. Ikut berkumpul saja untuk silaturahim,” kata Ali. Dengan menjalin silaturahmi, etnis Tionghoa yang Muslim bisa melakukan syiar untuk menghilangkan pandangan-pandangan negatif terhadap Islam dari non-muslim, katanya. “Tunjukkan bahwa setelah memeluk Islam, hidup menjadi lebih baik. Berdakwah tidak harus dengan lisan, tetapi juga bisa dengan akhlak yang baik,” lanjutnya.
Dalam sejarahnya, Imlek adalah perayaan tahun baru setelah Dinasti Han berhasil membuat kalender Cina pada 1500 SM yang lalu. Imlek dirayakan untuk menyambut musim bertanam dengan penuh suka cita. Ritual-ritual tertentu di kelenteng adalah ritual tambahan yang melekat dengan etnis Tionghoa yang kebetulan mayoritas Budha.
Di Indonesia, Imlek sendiri mulai dirayakan secara terbuka lagi setelah rezim Orde Baru ditumbangkan pada tahun 1998. Presiden Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Soeharto yang melarang perayaan keagamaan, kepercayaan, dan praktik budaya etnis Tionghoa secara terbuka pada tahun 2000. Bersamaan dengan itu, pemerintah berupaya menunjukkan komitmen untuk mengakhiri diskriminasi terhadap warga Tionghoa.
Mudah-mudahan nggak ada lagi hujatan terhadap warga Tionghoa yang muslim yang ikut merayakan Imlek ya. Yuk, hormati keberagaman budaya di Indonesia!