Ini Ulama-ulama yang Menghalalkan Nikah Beda Agama

Published:

Tulisan saya yang berjudul “Nikah Beda Agama Halal Menurut Al-Quran, Ini Ayatnya” banyak mendapatkan respon. Ada yang bilang saya mengada-ada. Padahal saya sudah kutipkan dengan jelas ayatnya, kemudian pendapat ulama yang otoritarif yang menghalalkan nikah beda agama.

Nikah beda agama kalau laki-lakinya muslim dan perempuannya dari Ahlul Kitab, sudah jelas halalnya. Kita tidak bisa mengharamkan apa yang sudah dihalalkan oleh Allah Swt. Halal itu bisa dibatasi dengan syarat, atau pun juga paling jauh hukumnya makruh (sebaiknya dihindari) apalagi kalau ada mudarat.

Tapi, jelas-jelas tidak boleh mengharamkan apa yang sudah dihalalkan Allah Swt. Nabi Muhammad Saw dilarang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah Swt. Ada kejadian khusus terkait masalah ini. Dan kemudian diabadikan dalam salah satu surat Al-Quran, yang bernama at tahrim artinya pengharaman.

Alkisah Nabi Muhammad Saw baru minum madu putih di kediaman salah seorang istrinya Sayyidah Zainab bint Jahsy Ra. Kemudian istri-istri beliau yang lain, Sayyidah Aisyah bint Abi Bakr Rahuma, dan Sayyidah Hafshah bint Umar bin Khatthab Rahuma cemburu dan memprotes karena ada “aroma” dari mulut Nabi Muhammad Saw.

Untuk menenangkan dan membuat dua istrinya itu tidak marah, ngambek, Nabi Muhammad Saw berjanji bahkan bersumpah tidak akan pernah minum madu putih lagi.  Sabda itu dianggap Nabi Muhammad Saw mengharamkan madu putih.  Melihat kejadian itu, Allah Swt ‘menegor’ Nabi Muhammad Saw:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكَۚ تَبْتَغِيْ مَرْضَاتَ اَزْوَاجِكَۗ

Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu?

(QS At-Tahrim ayat 1)

Firman Allah Swt itu menegaskan larangan mengharamkan apa yang sudah Allah Swt halalkan hanya demi menyenangkan orang lain.

Demikian pula kasus nikah beda agama kalau laki-lakinya muslim menikah dengan perempuan dari Ahlul Kitab, susah jelas sekali ayatnya halal. Maka tidak bisa diharamkan misalnya dengan alasan untuk menyenangkan hati umat Islam.

Karena ada polemik misalnya agar menyenangkan pihak yang tidak setuju dengan nikah beda agama dengan alasan apapun, kemudian diharamkan. Dalam contoh yang lebih sederhana, misalnya hukum makan jengkol.

Apa hukum makan jengkol? Jelas mubah, alias boleh alias halal. Tapi ada yang tidak suka jengkol, karena alasan bau, baginya makam jengkol bisa disebut “makruh” atau dia tidak suka, dihindari atau bisa dibenci.

Tapi ada yang sangat doyan makan jengkol, karena bikin tambah nafsu makan, kalau makan mesti cari jengkol. Baginya makan jengkol bisa disebut “mustahabb” dia suka sekali.

Yang perlu dicatat, yang tidak suka bahkan benci jengkol tidak bisa membuat fatwa untuk umum, makan jengkol haram, karena dia tidak suka. Atau yang doyan jengkol kemudian bikin fatwa, makan jengkol hukumnya wajib, karena dia doyan.

 

Nah, tidak bisa mengharamkan perkara yang halal. Juga tidak bisa menghalalkan perkara yang haram. Ini bermain-main dengan hukum dengan alasan emosional semata. Kalau sikap untuk pribadinya ya silakan.

Demikian pula kasus nikah beda agama kalau laki-lakinya muslim dan calonnya adalah perempuan Ahlul Kitab yang sudah jelas halalnya yang tidak bisa diharamkan. Ada banyak ulama-ulama yang menghalalkan nikah beda agama kalau laki-lakinya muslim dan perempuannya dari Ahlul Kitab.

Salah satunya saya sudah kutipkan pendapatnya di video sebelum ini, Syaikh Prof Dr Wahbah Zuhaili, alumnus Al-Azhar, pakar fiqih, tafsir Al-Quran dan hukum positif. Menurut Syaikh Wahbah Zuhaili, menikah dengan perempuan Ahlul Kitab boleh menurut kesepakatan ulama (ijma’ ulama’)

وقد أجمع العلماء على إباحة الزواج بالكتابيات،

Dan para ulama telah bersepakat (ijma’) atas dibolehkannya menikahi perempuan-perempuan Ahlul Kitab sebagaimana firman Allah surat Al-Maidah ayat 5. Kemudian Syaikh Prof Dr Ali Jumuah, Gumuah kalau dalam dialek Mesir, yang biasa melafalkan jim jadi ghain. Gamal Abd Nasser dari Jamal Abd Nashir.

Syaikh Ali Gumuah, mantan Mufti Mesir juga memperbolehkan menikahi perempuan Ahlul Kitab: Yahudi dan Kristen.

وأباح الإسلام للمسلم أن يتزوج بغير المسلمة إذا كانت من أهل الكتاب -اليهود والنصارى

Islam memperbolehkan seorang muslim menikah dengan perempuan non muslim kalau dari Ahlul Kitab: Yahudi dan Kristen, sesuai firman Allah Swt Al-Maidah ayat 5.

Juga Syaikh Prof Dr Yusuf Al-Qaradhawi, alumnus Al-Azhar, dikenal pakar fiqih, yang saat ini tinggal dan menjadi WN Qatar, salah satu tokoh senior Ikhwanul Muslimin (IM) memperbolehkan nikah beda agama kalau laki-lakinya muslim dengan perempuan Ahlul Kitab.

الأصل في الزواج من نساء أهل الكتاب عند جمهور المسلمين هو الإباحة

Dasar hukum menikah dengan perempuan Ahlul Kitab bagi mayoritas orang Islam adalah diperbolehkan.

Kemudian terkait ada pendapat yang melarang nikah dengan perempuan Ahlul Kitab, yang bersandar pada pendapat Ibnu Umar Rahuma yang mengutip ayat yang melarang menikah dengan perempuan musyrik (QS Al-Baqarah 221), Syaikh Al-Qaradhawi mendukung pendapat mayoritas yang memperboleh.

والحق أن رأي الجمهور هو الصحيح، لوضوح آية المائدة في الدلالة على الزواج من الكتابيات. وهي من آخر ما نزل كما جاء في الحديث

Yang benar adalah pendapat mayoritas yang sahih. Karena jelasnya bunyi ayat (5) dari Surat Al-Ma’idah yang menjadi dalil atas menikah dengan perempuan Ahlul Kitab. Dan surat itu termasuk yang terakhir turun seperti yang disebutkan dalam hadits.

Meskipun Syaikh Ali Gumuah dan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi berbeda dalam politik, terkait dengan Ikhwanul Muslimin, Syaikh Gumuah sangat anti Ikhwanul Muslimin dan Syaikh Al-Qaradhawi bagian dari Ikhwanul Muslimin, namun keduanya memiliki pendapat yang sama terkait halalnya menikah dengan perempuan Ahlul Kitab.

Dengan memberikan 4 syarat.

  1. Perempuan itu benar-benar dari Ahlul Kitab, dari Yahudi dan Kristen, bukan orang Atheis, murtad dan tidak beragama
  2. Perempuan itu benar-benar wanita baik dan terhomat sesuai dengan firman Allah Swt dalam Surat Al-Maidah ayat 5
  3. Perempuan itu tidak dari golongan Ahlul Kitab yang membenci dan musuhi Islam
  4. Pernikahan itu tidak menimbulkan “fitnah” kekacauan dan mudarat.

Demikian pula Syaikh Bin Baz yang dikenal dari ulama Madzhab Hambali, yang varian Wahabi, Mufti Arab Saudi, memperbolehkan menikah dengan perempuan Ahlul Kitab:

فالله

أباح لنا المحصنات من أهل الكتاب، إذا دفعنا لهن أجورهن  وهي المهور، والمحصنة: هي الحرة العفيفة، فإذا تيسر للمسلم حرة عفيفة من أهل الكتاب، واتفق معها على المهر المطلوب وهو الأجر؛ جاز له نكاحها، بواسطة وليها، وليس هناك شروط أخرى فيما نعلم، إلا أنه ينبغي للمؤمن أن يلتمس المسلمات المحصنات، وأن يقدم ذلك على نكاح المحصنات من أهل الكتاب

Allah Swt memperbolehkan menikah dengan perempuan baik dari Ahlul Kitab apabila menyerahkan mahar. Al-muhshanah maksudnya adalah wanita yang merdeka dan terhomat, apabila seorang muslim dijodohkan dengan wanita yang merdeka, terhomat dari Ahlul Kitab dan bersepakat soal mahar, maka diperbolehkan menikah dengannya melalui wali dia.

Tidak ada syarat lain yang kami tahu. Tapi sebaiknya sebagai seorang mukmin dia mencari wanita muslimah yang terhormat yang diprioritaskan daripada menikah dengan perempuan terhomat dari Ahlul Kitab.

Ulama dari Indonesia, Prof Dr Al-Habib Muhammad Quraish Shihab, pakar tafsir Al-Quran, yang menulis Tafsir Al-Misbah, memperbolehkan menikah dengan perempuan Ahlul Kitab. Pendapat Prof Quraish Shihab bisa kita baca dalam Tafsir Al-Misbah, buku “Perempuan” dan rubrik “Fatwa” di harian Republika.

Saat beliau menjawab pertanyaan dari Bambang. “Perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitab menurut mayoritas ulama dibenarkan, berdasarkan firman Allah dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 5.

Anda perhatikan bahwa syaratnya adalah wanita-wanita yang baik-baik. Memang sejak dahulu ada juga pendapat ulama yang mengharamkan perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Yahudi atau Nasrani, dengan alasan mereka juga musyrikah. Namun, pendapat ini tidak didukung banyak ulama dan praktik yang dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi SAW.”

Demikian lah pendapat para ulama baik dari dunia Arab dan Indonesia yang memperbolehkan menikah beda agama kalau laki-lakinya muslim dan calonnya perempuan Ahlul Kitab. Ini hanya sebagian ulama saja yang bisa saya kutipkan.Karena masih banyak ulama lain yang memiliki pendapat yang sama.

Kesimpulannya menikah beda agama kalau laki-lakinya muslim dan perempuannya Ahlul Kitab diperbolehkan menurut mayoritas (jumhur) ulama Islam. Namun hukum boleh tidak sama dengan anjuran seperti yang sudah saya jelaskan di tulisan sebelumnya.

Wallahu A’lam bis Shawab

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img