Kantor Tempo dikirimi bangkai kepala babi. Kiriman itu dikemas dalam paket kotak yang ditujukan spesifik kepada Francisca Christy Rosana, atau Cica, pada 19 Maret lalu. Cica adalah wartawan desk politik Tempo dan host siniar Bocor Alus Politik. Saat paket itu diterima, Cica berada di luar kantor buat liputan. Paket itu baru dibuka esok hari, pada 20 Maret. Hussein, salah satu rekan Cica, membantu membuka kardus itu. Saat membuka kardus itu, bau busuk sudah langsung menyebar. Mereka lalu putusin membuka seluruh kardus di luar gedung. Setelah terbuka, isinya bangkai kepala babi dengan dua telinga terpotong.
Pengiriman kepala babi ini dianggap punya makna tertentu. Dalam beberapa kepercayaan, kepala babi biasa digunakan dalam ritual pengantaran roh ke alam lain. Kalau dikirim ke seseorang, itu bisa diartikan sebagai ancaman kekerasan, kutukan, ilmu hitam, hingga kematian. Jadi, kiriman itu bisa ditafsirkan, “giliran lo selanjutnya”. Pimpinan Redaksi Tempo, Setri Yasra, langsung angkat suara. Menurutnya, ini bukan sekadar ancaman personal buat Cica, tapi lebih ke upaya membungkam kebebasan pers. Padahal, katanya, menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, jurnalis harusnya bisa bekerja tanpa takut diintimidasi.
Ini bukan kali pertama jurnalis Tempo kena teror. Sebelumnya Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran, yang juga host podcast Bocor Alus Politik bareng Cica, juga pernah diteror. Mobilnya dua kali dilempari batu sampai kacanya pecah pada Agustus 2024 lalu. Saat ini Tempo mutusin buat melindungi Cica dan Hussein dengan nggak biarin mereka bekerja sendirian dan harus selalu ditemani. Tempo juga udah lapor kasus ini ke polisi. Masalahnya, laporan tentang teror Hussein sebelumnya belum ada perkembangan. Tempo khawatir laporan soal teror yang menimpa Cica juga bakal bernasib sama.
Intimidasi pada Tempo ini menuai tanggapan dari berbagai pihak. Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung, menegaskan ini bukan cuma masalah buat Tempo atau Cica. Tapi, juga masalah buat demokrasi di Indonesia dengan cara membatasi kebebasan pers secara keseluruhan. KKJ bahkan terang-terangan menantang Presiden Prabowo Subianto. KKJ ingin tahu apakah pemerintahannya benar-benar pro-kebebasan pers atau justru sebaliknya. Ketua Umum Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM), Irfan Kamil, menekankan pentingnya perlindungan jurnalis. Menurutnya, kalau aparat nggak serius menangani kasus ini, berarti negara gagal menjamin kebebasan pers. Hal senada juga disampaikan Dewan Pers dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka mendesak pemerintah dan kepolisian buat segera mengusut dalang di balik aksi ini. Apalagi dalam lima tahun terakhir, kekerasan terhadap jurnalis makin sering terjadi. Di media sosial juga beredar poster dukungan dari netizen kepada Tempo. “Saya Bersama Tempo, lawan #terorkepalababi,” bunyi poster itu dengan background para wartawan Tempo.
Memang belum jelas siapa dalang di balik teror terhadap Hussein dan Cica. Tapi melihat teror yang semula menimpa Hussein dan belakangan menimpa Cica, muncul spekulasi bahwa teror itu bukan peristiwa insidental. Tapi, peristiwa itu dianggap terpola dan sistematis. Pemerintah pusat dan kepolisian harus segera bertindak menangani 2 kasus teror itu. Ini penting untuk mematahkan pandangan yang menganggap pemerintah pusat dan kepolisian nggak peduli dengan teror yang menimpa wartawan dan media massa. Juga untuk memberikan jaminan bagi wartawan dan media massa bisa bekerja dengan bebas dan tanpa diintimidasi sebagaimana amanat UU Pers. Media massa adalah salah satu pilar demokrasi. Membiarkan wartawan dan media massa nggak bisa mengungkap kebenaran karena adanya intimidasi, berarti membiarkan demokrasi runtuh. Yuk, lawan pembungkaman kebebasan pers!