Jakarta, PIS – Ada lagi berita diskriminatif terjadi di Sumatera Utara. Seorang penjual bakso tidak boleh berjualan di kawasan sekolah muslim, hanya karena agamanya non-muslim.
Kejadian memprihatinkan ini diketahui dari unggahan seorang kepala sekolah bernama Asmah Nina Siregar di akun pribadi Facebooknya. Dia menulis: “Yang menjual bakso ini non-muslim. Tidak dijamin kehalalan bakso ini. Dia berjualan di muka sekolah MAN/MTsN. Sudah ditegur jangan berjualan di sekolah tersebut. Tapi dia mencuri-curi berjualan”.
Unggahan diskriminatif itu mengundang reaksi, ada yang mendukung dan banyak juga yang mencela. Akun ini pun lenyap usai mengunggah kalimat kontroversial itu. Melarang seseorang berjualan karena faktor agamanya, jelas sikap yang berlebihan bahkan diskrimnatif.
Tahu dari mana kalau si tukang bakso menjual bakso non-halal, hanya karena agama si penjual non-muslim? Bila di kawasan sekolah muslim itu keberatan dan meragukan kehalalan makanan yand dijual, tulis saja peringatan keras untuk itu.
Tak perlu mengaitkan agama si penjualan makanan untuk melarang berjualan. Bebas kok, setiap orang Indonesia berhak berjualan dimana pun sesuai aturan, tanpa dikaitkan dengan agama. Jelas, si tukang bakso yang non-muslim itu korban prasangka dari kepala sekolah yang muslim.
Prasangka agama semacam ini dapat bermuara kepada prasangka etnis. Sikap itu bisa saja menguat jadi segregasi, diskriminasi dan disertai ujaran kebencian yang menuju intoleransi.
Masyarakat yang maju dan kuat, terjadi bila warganya saling berjumpa, bertemu, aktif bertukar pikiran. Serta saling berbagi secara interaktif antar berbagai golongan, agama, suku dan etnis. Hilangkan prasangka apapun antar kelompok masyarakat. Indonesia yang kuat ini dibangun atas keberagaman.