Apakah Presiden ke-2 RI Soeharto layak memperoleh gelar pahlawan nasional? Pertanyaan ini muncul karena dikabarkan pemerintah berencana memberikan gelar itu kepada Soeharto. Pangkalnya, pada 23 April, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan, Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP) tengah mempelajari 20 nama tokoh yang diusulkan oleh daerah agar diberi gelar pahlawan nasional. Salah satu nama yang diusulkan adalah Soeharto. Rencana ini sebenarnya sudah terdengar September tahun lalu. Ini terkait dengan manuver Ketua MPR, Bambang Soesatyo.
Pada Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR periode 2019-2024, Bambang mengatakan akan mengajukan nama Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Bambang bahkan kemudian menemui putra-putri, sembari menyampaikan rencana itu. Perwakilan keluarga Soeharto, Titiek Soeharto dan Tutut Soeharto sendiri menyatakan mengapresiasi langkah MPR dan juga menyampaikan permintaan maaf jika ayahnya melakukan kesalahan selama memimpin bangsa selama 32 tahun.
Terus terang, menurut kami, jujur saja, Presiden Soeharto sama sekali tidak layak jadi pahlawan nasional. Terlalu banyak dosa-dosa Soeharto saat dia menjabat sebagai Presiden. Dua kelompok besar kejahatan Orde Baru di bawah Soeharto adalah: penindasan HAM dan korupsi. Selama memimpin Indonesia setelah Soekarno tumbang, Soeharto menjadi panglima dengan tangan besi. Ada begitu banyak kejahatan HAM dilakukan, seusai pembantaian PKI. Salah satu yang sangat terkenal adalah peristiwa Tanjung Priok, pada 12 September 1984. Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Ada pula Tragedi Talangsari 1989, yang terjadi pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari, Lampung Tengah. Tentara diturunkan untuk melawan masyarakat yang menolak penerapan asas tunggal Pancasila. Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh.
Ada pula Tragedi Rumoh Geudong, yakni tragedi penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI selama masa konflik Aceh, 1989-1998. Selain itu, pada tahun 1983 sampai 1985, Orde Baru menjalankan operasi rahasia Penembakan Misterius, atau disingkat Petrus. Operasi ini menangkap dan membunuh individu-individu yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, terutama di Jakarta dan Jawa Tengah. Sekitar 700 warga sipil dibunuh, dengan sekitar 400 di antaranya tewas akibat luka tembak. Di bawah Soeharto, kebebasan sipil juga diberangus. Surat kabar dan majalah ditutup, dibredel. Para tokoh oposisi ditangkap, dihilangkan, dihabisi hak politik, ekonomi dan hak asasinya. Partai politik dibubarkan atau juga digabung-gabungkan sehingga hanya ada 3 partai politik di Indonesia: Golkar, PPP dan PDI.
Organisasi mahasiswa seperti Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa dibubarkan, para pemimpinnya ditangkap. Demonstran dipukuli atau bahkan ditembaki. Diskusi dan seminar digeruduk oleh aparat keamanan. Tanah rakyat dirampas. Lawan bisnis keluarga Soeharto juga dimatikan hak hidupnya. Selain soal pelanggaran HAM, tentu kita harus menyebut kejahatan korupsi Soeharto. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menerbitkan dokumen penelitian tentang korupsi di zaman Orde Baru. Dokumen PBB itu menyebut Soeharto sebagai diktator paling korup di dunia. Jadi sudahlah, kita hormati saja sumbangan positifnya buat Indonesia. Tapi sebagai pahlawan nasional dia sama sekali tidak pantas.