Jakarta, PIS – Perubahan besar sedang berlangsung di Arab Saudi saat ini. Itu terlihat, di antaranya, dari kehidupan perempuan di negara petro dollar itu. Perempuan Saudi saat ini jadi bebas mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka tidak lagi mengenakan abaya hitam dan cadar yang selama puluhan tahun jadi pakaian wajib mereka.
Perempuan Saudi kini bisa mengenakan abaya warna-warni dan penuh pernak-pernik, bahkan ke luar rumah tanpa hijab. Karena itu, tidak heran bila belakangan ini diberitakan banyak perempuan Saudi yang berambut pendek di jalanan Riyadh.
Derita perempuan Saudi yang terbelenggu karena ajaran ultra konservatif Wahabisme yang diadopsi Pemerintah Saudi, perlahan mulai terkikis. Perubahan besar ini tidak lepas dari peran Putra Mahkota, Mohammed bin Salman (MBS).
Sejak 2018, ia mencanangkan agenda reformasi yang dituangkan dalam Visi 2030. Visi itu, di antaranya, ingin memperbaiki kualitas kehidupan rakyat Saudi dan menarik investasi dari dalam dan luar negeri. Sejumlah langkah pun diambil yang berdampak pada perubahan budaya di negara itu.
Salah satunya, perempuan diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi menyukseskan program-program pembangunan di segala bidang. Perempuan juga diberi keleluasaan dalam berpakaian yang disukai selama tetap menjaga kesopanan.
Sejak saat itu, perempuan Saudi tidak perlu dan tidak harus lagi mengenakan abaya, hijab, apalagi cadar. Tidak hanya itu, aturan-aturan lain yang membatasi ruang perempuan juga dibatalkan. Karena itu, perempuan Saudi bisa menonton pertandingan olahraga dan konser musik yang bercampur dengan penonton laki-laki.
Jika ditarik ke belakang, perubahan besar di Saudi itu bukan hanya didorong MBS. Dosen Antropologi Budaya King Fahd University, Arab Saudi, Sumanto Al Qurtuby, mencatat ada juga andil elite politik dan elite keagamaan.
Mendiang Raja Abdullah (1924-2015), misalnya, memberikan kuota 30% bagi perempuan di Shuro Council, Dewan Penasehat Kerajaan. Para perempuan di Shuro Council ini kemudian menyuarakan dan melakukan perubahan atas hak-hak perempuan Saudi. Selain itu, ada Putri Rima binti Bandar Al-Saud, Ketua Saudi Federation for Community Sports.
Di berbagai kesempatan ia menyatakan yang lebih penting dan harus diperhatikan para perempuan adalah kemampuan dan kualitas perempuan itu sendiri, bukan soal pakaian. Selain dari keluarga kerajaan, ulama senior Syaikh Abdullah Al-Mutlaq juga mendorong perubahan besar itu.
Ia menegaskan perempuan tidak harus memakai abaya di ruang publik dan cukup berpakaian yang sopan dan pantas. Kalau Saudi sekarang mendorong hak kebebasan perempuan, masa kita ingin sebaliknya?