Pernah kebayang kalau hak perempuan buat sekolah dan kerja cuma dibatasi untuk 20% aja? Itu pun cuma untuk mereka yang dianggap berintelektual tinggi. Ide ini diusulkan akun TikTok @overthinker_z yang mengklaim dirinya sebagai tukang mikir. Kalo dilihat dari konten-kontennya, dia sih lebih cocok disebut tukang asal bunyi. Jadi, dia bilang mayoritas perempuan itu emosional, egois, dan nggak tau batas. Karena itu, perempuan lebih baik nggak diberi akses kebebasan seperti pendidikan tinggi atau pekerjaan bergengsi, katanya. Alasannya? Demi menjaga keutuhan bangsa, mengembalikan peran tradisional laki-laki, dan mencegah perceraian. Menurutnya, kesetaraan bikin perempuan nggak mau menikah dan punya anak karena nggak ada laki-laki yang “lebih tinggi” dari mereka. Fenomena ini, katanya, bisa bikin punah suatu bangsa seperti penurunan populasi yang dialami sama negara-negara di Asia Timur.
Katanya lagi, laki-laki jadi malas menafkahi karena perempuan bisa kerja dan akhirnya muncul fenomena mokondo. Mokondo ini istilah zaman sekarang yang artinya ‘modal kont*l doang’. Hal lain yang dia soroti adalah angka perceraian yang tinggi. Dia menyalahkan perempuan yang disebutnya egois karena sering mengajukan cerai dengan alasan ekonomi. Bahkan, dia bilang perempuan yang diberi hak bersuara itu bahaya.
Ngaco banget kan opininya. Tapi, untungnya mayoritas netizen langsung ngegas. Ada yang bilang, “Dari dia ngepost gini aja keliatan seberapa penting pendidikan.” Komen lain, “Meanwhile cowok kalo ditolak cewek: ngebunuh, KDRT, ngamuk. Siapa makhluk emosional sekarang?” Dari respons ini jelas kalau ide kayak gini nggak diterima masyarakat. Pandangan ini berbahaya karena memperkuat stereotip tentang perempuan. Mengklaim perempuan itu emosional dan egois nggak cuma merendahkan, tapi juga bias. Emosi adalah sifat manusiawi yang dimiliki semua orang, nggak peduli gendernya. Kompetensi seseorang juga nggak ditentukan jenis kelamin, tapi usaha, pendidikan, dan pengalaman. Justru akses perempuan ke pendidikan dan pekerjaan terbukti memperkuat ekonomi dan masyarakat.
Data global menunjukkan, makin banyak perempuan yang berkontribusi, makin pesat kemajuan suatu negara. Perempuan yang berpendidikan lebih mampu mendidik anak, membangun keluarga yang sehat, dan mendukung perkembangan komunitas.
Soal perceraian? Faktanya, sebagian besar kasus gugatan cerai di Indonesia dipicu oleh ketidakharmonisan atau kekerasan, bukan egoisme perempuan. Banyak perempuan yang ajukan cerai karena mereka ingin keluar dari hubungan nggak sehat, seperti kekerasan atau tekanan psikologis. Menyalahkan perempuan atas perceraian hanya memperlihatkan cara pikir yang nggak bertanggung jawab.
Kalau bicara Asia Timur, rendahnya angka kelahiran di sana lebih dipengaruhi faktor ekonomi dan budaya. Biaya hidup tinggi, tekanan pendidikan, dan kebijakan keluarga yang kaku bikin pasangan enggan punya anak, bukan karena kesetaraan gender.
Mempersempit hak perempuan bukan solusi untuk masalah sosial. Justru kesetaraan gender bisa jadi solusi lewat kebijakan yang mendukung keluarga, seperti cuti melahirkan atau insentif finansial. Jadi, pandangan ini nggak cuma salah secara moral, tapi juga nggak didukung fakta. Membatasi hak perempuan sama saja menghambat kemajuan bangsa. Kalau mau Indonesia maju, hentikan pola pikir patriarki kaya gini.
Kesetaraan gender bukan ancaman, tapi kunci untuk masa depan yang lebih baik!
KATEGORI: P3ALD