Gereja Injili Masehi di Timor (GMIT) jadi sorotan. Itu karena GMIT disebut dalam dakwaan menerima bantuan dana dari mantan Menteri Komunikasi dan Informatika nonaktif, Johnny G. Plate.
Semula GMIT menyangkal menerima bantuan dana dari Plate di tengah kasus korupsi BTS senilai 8 triliun Rupiah yang menyeret Plate. Belakangan, Ketua GMIT, Merry Kalimon, mengakui ada bantuan dana yang masuk dari Plate.
Bantuan dana total senilai 250 juta Rupiah itu diserahkan pada Juli 2021. Penerimanya, panitia pelaksana musyawarah pelayanan Pemuda GMIT dan Majelis Jemaat GMIT BaitEl Bokong. Ketua GMIT menyatakan siap mengembalikan bantuan dana itu jika terindikasi hasil korupsi kepada negara.
GMIT juga mendukung dan siap bekerjasama dengan pemerintah dan semua pihak untuk melawan dan memberantas korupsi demi kehidupan yang adil dan beradab. “Komitmen GMIT menolak korupsi sekaligus komitmen iman pada Allah yang menghendaki umat-Nya hidup dalam keadilan dan kebenaran,” kata Ketua GMIT.
Apa yang dialami GMIT harus jadi pembelajaran penting bagi kita semua. Seringkali kegiatan keagamaan atau filantropi dijadikan modus pencucian uang. Uang yang diperoleh dari hasil korupsi kemudian digunakan, disamarkan, seolah-olah bukan hasil korupsi.
Kalau kita tahu uang itu dari hasil korupsi, kita mungkin bisa menolaknya. Masalahnya, seringkali kita menerima begitu saja kalau ada orang yang menyumbang untuk rumah ibadah, lembaga pendidikan, dan lainnya. Kita sungkan bertanya dari mana sumbangan itu, legal atau illegal.
Langkah preventif yang bisa dilakuin adalah berhati-hati. Kalau ada orang menyumbang tapi profil ekonominya nggak sesuai, layak buat dicurigai. Jangan sampai sumbangan buat rumah ibadah, lembaga pendidikan, dan lainnya itu disegel KPK.
Emang sih masyarakat yang nerima sumbangan illegal itu nggak salah kalau dia nggak tahu. Meski begitu, prinsip kehati-hatian tetap harus diutamain biar terhindar dari masalah hukum.
Yuk, berhati-hati ketika menerima sumbangan!
