Tahu kan kasus disertasi Ketum Golkar, Bahlil Lahadalia, di UI? Ternyata polemik soal disertasi kilat itu masih berlangsung. Jadi, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) ngajuin keberatan ke UI karena organisasinya dicatut dalam disertasinya Bahlil. Surat itu disampein ke UI pada 7 November kemarin. JATAM tegasin mereka sama sekali nggak pernah kasih persetujuan untuk jadi informan utama disertasi Bahlil. Secara lisan maupun tertulis.
JATAM memang pernah kasih persetujuan buat diwawancarai. Tapi itu diberikan kepada seseorang bernama Ismi Azkya. Itupun buat penelitian pribadi, bukan buat penelitian orang lain. Ismi bilang penelitiannya ini terkait profesinya sebagai peneliti di Lembaga Demografi di UI.
Nah, penelitian yang dimaksud berkaitan dengan dampak hilirisasi nikel bagi masyarakat di wilayah tambang. Sementara JATAM mengaku nggak dikasih info memadai bahwa wawancara ini adalah salah satu proses penelitian buat disertasinya Bahlil. Ismi juga nggak bisa kasih penjelasan lebih lanjut soal penelitiannya pas JATAM tahu kalo nama mereka dicatut di disetasinya Bahlil.
Duh, duh. Kita tentu senang kalo ada pejabat publik yang masih bersemangat untuk kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Itu kan bagus untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi si pejabat publik. Tapi kalo menyelesaikan program doktor dalam waktu kurang dari 2 tahun, itu kan aneh. Program doktoral pada dasarnya menuntut waktu, dedikasi, dan riset mendalam yang sulit diselesaikan dalam waktu singkat. Di berbagai universitas bereputasi tinggi, program doktoral seringkali butuh 3 sampe 5 tahun penyelesaiannya.
Itu karena melibatkan penelitian independen, publikasi ilmiah, dan proses bimbingan yang intensif. Ketika seseorang meraih gelar doktor dalam waktu yang sangat singkat, penting bagi kita untuk bertanya.
“Apakah proses akademiknya telah memenuhi standar keilmuan yang ditetapkan?”
Untuk lulus program doktoral harus melalui tahapan-tahapan yang komprehensif, termasuk penulisan disertasi, pengujian yang ketat, dan publikasi riset di jurnal bereputasi. Mempercepat proses ini tanpa tahapan yang sesuai, berisiko mengurangi kualitas riset dan kredibilitas akademik. Dampak negatifnya nggak cuma bagi calon doktor, tapi juga bagi institusi yang mengeluarkan gelar itu.
Kita harus mendorong nilai integritas akademik dengan mengutamakan kualitas pendidikan dibanding pencapaian gelar semata. Kita juga perlu mendorong transparansi dari lembaga pendidikan terkait standar dan proses dalam pemberian gelar akademik. Sehingga setiap gelar yang diraih benar-benar mencerminkan kualitas dan kompetensi yang sepadan.
Stop rusak reputasi lembaga pendidikan!