Mahasiswa Kristen Desak Kebebasan Beribadah di Samarinda

Published:

Puluhan mahasiswa Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Samarinda ngadain aksi damai di depan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Samarinda pada 28 Juli lalu. Mereka bawa spanduk, bendera Merah Putih, dan panji organisasi sambil berorasi. Mereka protes soal maraknya tindakan intoleransi yang ganggu kehidupan beragama di Samarinda.

Salah satu kasus yang disorot adalah penolakan pembangunan Gereja Toraja di Samarinda pada tahun 2021. Padahal, Gereja Toraja udah penuhi semua syarat administratif yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2 Menteri Tahun 2006. Pertama, daftar nama dan KTP minimal 90 jemaat. Kedua, persetujuan dan dukungan dari minimal 60 warga sekitar gereja. Ketiga, rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Nah, satu syarat lagi terganjal, yaitu rekomendasi dari Kemenag Samarinda.

Kemenag Samarinda belum keluarin rekomendasi dengan alasan nggak masuk akal. Pingin menjaga kondusivitas antarumat beragama. GMKI merasa Kemenag kurang tegas dan malah takut sama kelompok intoleran yang menolak pendirian gereja. Koordinator aksi, Adriano Marbun, bilang PBM sering jadi celah menghambat hak beribadah kelompok minoritas.

Menurut Adriano, aturan ini bikin pendirian rumah ibadah susah, meski semua syarat udah dipenuhi dan itu mencederai semangat konstitusi. Konstitusi kita jelas-jelas bilang negara menjamin kemerdekaan tiap warga buat memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya.

GMKI Samarinda menyampaikan 3 tuntutan utama dalam aksi itu. Pertama, mereka meminta Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri cabut PBM. Soalnya aturan ini dianggap memberi ruang buat intoleransi dan diskriminasi. Kedua, mendesak Kemenag dan Pemkot Samarinda menjaga kerukunan antarumat beragama dan mencegah tindakan intoleran di masyarakat. Ketiga, mendesak Walikota Samarinda, Kemenag, dan polisi bertindak tegas oknum yang terbukti melakukan tindakan intoleransi.

Adriano juga nyebut kasus lain, yaitu penolakan gereja di Kelurahan Sempaja Utara pada 2021. Meski Samarinda dikenal sebagai kota multikultural, Adriano bilang masih ada kasus intoleransi yang perlu perhatian serius dari pemerintah.

Ketua GMKI Samarinda, Ezra Julio Parapean, bilang kasus Gereja Toraja di Samarinda cuma salah satu contoh gimana syarat administrasi sering jadi alasan menolak rumah ibadah. Menurut Ezra, ini bentuk diskriminasi yang nggak boleh dibiarkan. Catatan GMKI, dalam setahun terakhir, ada lebih dari 10 kasus pelarangan ibadah dan penolakan pembangunan rumah ibadah di berbagai wilayah.

Plt. Kepala Kemenag Samarinda, Mustofa Nuri, janji akan mengevaluasi tata kelola keagamaan di Samarinda. Dia juga bilang terbuka mendengarkan aspirasi GMKI.

Aksi damai yang dilakui GMKI Samarinda ini keren banget. Sebagai mahasiswa, mereka nggak cuma belajar di dalam kelas universitas, tapi juga peduli dengan kondisi sosial di sekitarnya. Mereka protes ketika ada kelompok agama minoritas yang ditindas hak beribadahnya. Mereka juga mengingatkan kemenag, walikota, dan kepolisian terus menegakkan konstitusi, khususnya soal hak kebebasan beribadah.

Mereka juga mengingatkan semua aparat bertindak tegas ngelindungin hak beribadah semua umat. GMKI juga ngajak masyarakat ngeliat keberagaman sebagai kekuatan supaya Indonesia bisa lebih inklusif dan damai. Semoga aksi damai GMKI ini bisa jadi momentum pemerintah pusat menghapus aturan yang diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas. Kudos GMKI Samarinda!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img