Pekerja migran Indonesia asal Karawang divonis hukuman mati di Arab Saudi. Dia dituduh membunuh anak majikannya. Namanya, Susanti binti Mahfudin (29 tahun). Susanti dituduh membunuh Khalid bin Obaid Al Otaibi di Dawadmi, Saudi, pada 21 November 2009. Menurut pihak berwenang di sana, anak berumur 13 tahun itu ditemukan meninggal dengan tanda-tanda kekerasan. Susanti sudah membantah tuduhan itu. Dia bilang, sang anak bunuh diri karena kelainan mental. Tapi Susanti tetap divonis hukuman mati. Dan vonis itu bersifat inkracht, alias berkekuatan hukum tetap.
Susanti berangkat ke Riyadh, Saudi, untuk bekerja sebagai TKI pada 2008. Dia diberangkatkan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT Antara Indosadya. Saat itu umurnya masih 16 tahun. Pada 21 November 2009, Susanti ditangkap Polisi Dawadmi setelah dituduh membunuh anak majikannya. Pengadilan Riyadh memvonis Susanti hukuman mati secara “had” karena pembunuhan dilakukan diam-diam pada 20 April 2011. Hukuman had dalam Pidana Saudi sifatnya mutlak alias nggak bisa dikurangin hakim. Hukuman had biasanya berlaku untuk kejahatan berat, termasuk pembunuhan.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Riyadh baru mengetahui kasus Susanti pas lagi kunjungan ke penjara Dawadmi pada 11 September 2011. Kunjungan itu dilakukan dalam rangka pemutakhiran data WNI yang terancam hukuman mati. KBRI nggak terima putusan itu karena nggak dapat pemberitahuan resmi soal kasus Susanti. KBRI lalu mengirim nota protes ke Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada 28 September 2011. Dubes Indonesia di Riyadh mengunjungi Susanti dan mengirim surat ke Raja Abdullah, Raja Saudi, pada 4 Oktober 2011. Isinya, minta peninjauan ulang proses hukum Susanti. Belakangan Pengacara KBRI mengirim berkas pembelaan ke Pengadilan Dawadmi setelah menerima salinan vonis mati Susanti.
Pada 6 Januari 2012 Kemenlu RI kirim surat ke keluarga Susanti di Karawang. Isinya, informasi tentang status hukum Susanti dan upaya yang sedang dilakukan pemerintah. Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir, bilang perlu dana minimal Rp 40 miliar buat bebasin Susanti dari hukuman mati. Mengingat keluarga korban sebelumnya menuntut diyat alias uang tebusan ke Susanti sebesar Rp125 miliar. Setelah negosiasi cukup panjang, diyat dikurangi jadi Rp 85 miliar. Tapi, pemerintah pun baru menyanggupi Rp 40 miliar. LAZISNU PBNU berupaya menggalang dana untuk membebaskan Susanti. Namun, kabarnya dana yang terkumpul baru mencapai Rp 6,4 juta.
Apa yang dialami Susanti menambah panjang cerita betapa rentannya pekerja migran kita Saudi. Mereka bekerja overtime, nggak digaji berbulan-bulan, jadi korban kekerasan fisik, dan jadi korban kekerasan seksual. Pekerja migran kita seringkali dianggap sebagai budak di Saudi. Dan otoritas Saudi kerap abai berkoordinasi bila ada pekerja migran kita yang berurusan dengan hukum. Akibatnya, pekerja migran kita nggak mendapat bantuan hukum yang layak. Pekerja migran kita harus berjuang sendiri tanpa didampingi pengacara dari KBRI.
Derita yang dialami pekerja migran kita di Saudi harus diakhiri. Pemerintah harus berani menaikkan bargaining position-nya di hadapan otoritas Saudi. Di sisi lain, KBRI dan travel agen juga harus aktif berkomunikasi dengan para pekerja migran kita. Pekerja migran kita bukan sekedar pahlawan devisa. Pekerja migran kita adalah manusia yang punya hak untuk bekerja dengan aman dan dihargai. Semoga Susanti bisa segera mendapat keadilan. Yuk, lindungi pekerja migran kita!