Karena Kritik Ulama, Penulis Malaysia Ditolak Di Malaysia

Published:

Dalam hal kebebasan berpikir, kita di Indonesia memang jauh lebih merdeka dibandingkan negara tetangga kita, Malaysia. Di Indonesia, memang masih ada sih aksi intoleransi terhadap perbedaan. Tapi dibandingkan Malaysia, kita jauh lebih beruntung. Aparat di sana gampang saja melarang buku atau mencekal orang yang punya gagasan atau pemikiran berbeda dengan mereka.

Ini misalnya yang terjadi pada seorang ilmuwan ahli Islam, bernama Ahmed T. Kuru, Dia ini Profesor Ilmu Politik dari Universitas San Diego, Amerika Serikat. Dia muslim tapi kritis terhadap Islam. Dia dicekal di Malaysia gara-gara bukunya berjudul ‘Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan’. Di bukunya ini Ahmed mengulas penyebab kemunduran yang terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Menurutnya negara berpenduduk mayoritas muslim mempunyai tingkat otoritarianisme yang tinggi.

Tak hanya itu, tingkat pembangunan sosio ekonominya juga rendah. Semua itu katanya disebabkan karena adanya persekongkolan antara ulama dan penguasa di negara-negara muslim itu sendiri. Persekongkolan ini mempersempit kreativitas dan kompetisi di dunia Islam. Di buku ini dia juga mengkritik banyak pendapat yang mengatakan bahwa kemunduran itu terjadi karena agama Islam itu sendiri. Menurutnya bukan itu penyebabnya. Ini terbukti, karena Islam pernah mengalami zaman kemajuan di bidang filsafat dan sosioekonomi.

Bahkan sempat mengalahkan negara-negara Eropa Barat pada abad 9 dan 12 masehi. Dia juga gak setuju dengan pendapat kalau penyebab kemunduran itu adalah kolonialisme yang dilakukan negara-negara Eropa. Karena menurutnya dunia muslim sudah memiliki pemikir-pemikir dan pedagang-pedagang berpengaruh pada awal sejarahnya.

Buku itu mendapat banyak pujian di dunia internasional. Di Indonesia, buku itu diterbitkan pada 2020. Ahmad bercerita di websitenya bahwa telah datang ke Indonesia untuk mengisi beberapa diskusi yang mengulas bukunya. Dia merasa senang, karena dia mendapat perlakuan yang baik saat ada di Indonesia. Tapi dia mendapat pengalaman yang berbeda di Malaysia.

Dia datang ke sana, setelah sebuah penerbit menerbitkan bukunya di sana. Saat tiba di Bandara Kuala Lumpur, dia kaget saat polisi Bandara langsung menghampiri dirinya. Tidak diceritakan dengan detail apa yang terjadi, tapi Ahmed menyebut bahwa dirinya sempat berkonfrontasi dengan polisi bandara itu. Tak hanya itu, kedatangannya juga mendapat penolakan dari kelompok konservatif dan Islamis di Malaysia. Penolakan bahkan sampai membuat acara peluncuran bukunya dibatalkan.

Ahmed sebenarnya masih sempat mengisi beberapa acara diskusi. Tapi pada acara diskusinya yang terakhir, polisi Malaysia mendatangi acara itu. Polisi kemudian menginterogasi penerbit bukunya itu. Keesokan harinya, polisi yang sama menginterogasi dirinya. Polisi Bandara Internasional Kuala Lumpur bahkan sempat mau menyita pasportnya, saat dirinya mau terbang ke Pakistan. Karena khawatir akan keselamatannya, Ahmed membatalkan serangkaian acara diskusi yang diagendakan di Lahore dan Islamabad. Ahmed akhirnya lebih memilih kembali ke Amerika Serikat (AS).

Jadi, bisa dibilang, dalam hal kebebasan berpikir dan berkarya, kondisi Malaysia jauh lebih buruk dari Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, bahkan tersiar kabar bahwa hukum di sana mengancam mati warganya yang pindah agama. Pindah agama dalam konteks ini adalah dari muslim menjadi menjadi non-muslim ya. Kalau sebaliknya, tidak.

Kita mungkin masih bisa berbangga, Indonesia tidak sampai seperti di Malaysia. Kita tentu harus prihatin dengan aksi-aksi intoleransi masih kerap terjadi. Dan untuk itu kita harus terus berjuang untuk melawan intoleransi yang terkait suku, agama. Ras dan antar golongan. Kita harus jadi contoh bagi Malaysia, bukan sebaliknya!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img