Muhammadiyah menolak Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menggratiskan biaya sekolah swasta. Hal ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, pada 3 Juni lalu. Dia khawatir putusan MK justru bakal mematikan penyelenggaraan pendidikan secara nasional. Haedar menilai swasta tetap swasta dan tetap memiliki peran strategis dalam penyelenggaraan pendidikan di negara ini. Dia cemas akan ada efek domino yang ditimbulkan melalui putusan MK ini. Di lain sisi, Haedar ragu pemerintah memiliki anggaran pendidikan yang cukup ketika 20 persen APBD dan APBN dialokasikan untuk sekolah negeri serta swasta.
Haedar berharap pemerintah tetap bisa memberikan keleluasan kepada swasta. Info aja nih, Muhammadiyah selama ini adalah ormas keagamaan yang aktif mengbangkan usaha pendidikan. Saat ini Muhammadiyah sudah memiliki sekitar 5300 sekolah dari SD/sederajat sampai SMA/sederajat. Jumlah ini menampung lebih dari satu juta peserta didik. Btw, putusan MK itu sendiri diresmikan pada 27 Mei 2025 lalu. Keputusan untuk menggratiskan biaya sekolah swasta itu sendiri termuat dalam revisi UU Sisdiknas Pasal 53 ayat 3.
Dulu, isinya menyebut bahwa pemerintah dapat memberikan bantuan kepada satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat. Sekarang diganti sehingga negara harus menjamin pembiayaan pendidikan tidak hanya pada sekolah negeri, tapi juga swasta. Putusan ini emang harus dipahami dan dicermati secara mendalam, gabisa cuma liat dari satu sisi. Putusan MK secara garis besar bertujuan untuk mengakhiri diskriminasi pembiayaan sekolah dasar di Indonesia. Dengan adanya putusan ini, negara tidak hanya bertanggung jawab pada sekolah negeri. Tapi juga menjamin keberlangsungan sekolah swasta yang membantu negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, bantuan ke sekolah swasta bisa menurunkan biaya pendidikan, mencegah drop out karena biaya tinggi, serta memberi pilihan pendidikan yang lebih beragam bagi masyarakat.
Tapi di sisi lain kita juga perlu liat alasan penolakan Muhammadiyah. Alasan mereka misalnya terkait kekhawatiran terhadap otonomi lembaga swasta. Kalo negara wajib membiayai, akan muncul berbagai intervensi: dalam hal kurikulum dan nilai ajar, tata kelola internal sekolah, sampe keputusan strategis yayasan. Datangnya bantuan akan meningkatkan kontrol, dan inilah yang banyak dipersoalkan lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Ditambah lagi beban anggaran negara jadi tidak realistis. Bayangin, Jika Indonesia punya 100 ribu lebih sekolah swasta, dan tiap sekolah hanya butuh Rp 1 miliar per tahun, maka Indonesia butuh 100 triliun.
Padahal Anggaran fungsi pendidikan total sekitar Rp 600 triliun. Tapi hanya sebagian dari itu yang bisa langsung ke sekolah. Kenapa? karena harus dibagi untuk perguruan tinggi, tunjangan guru, infrastruktur, dll. Putusan MK menyamaratakan semua sekolah swasta, padahal ada sekolah swasta keagamaan nirlaba dan ada juga sekolah swasta elite komersial. Tanpa klasifikasi, subsidi bisa jatuh ke sekolah yang sebenarnya tidak membutuhkan bantuan.
Dari sini kita paham bahwa ada beberapa hal yang harus diperjelas dari kebijakan ini. Siapa yang akan menerima bantuan, semua sekolah swasta atau ada syarat tertentu? Sejauh apa pemerintah bisa mengatur sekolah penerima bantuan? Apakah bantuan ini berbentuk dana rutin, hibah proyek, atau subsidi siswa? Anda sendiri setuju atau nggak sama kebijakan ini? Coba komen di bawah ya!