Rapor 100 Hari Prabowo-Gibran anjlok banget. Sebuah studi yang dibuat lembaga bernama CELIOS kasih angka sangat rendah buat Presiden Prabowo-Gibran dalam 100 hari kepemimpinannya. Prabowo Cuma dapat nilai nilai rapor 5. Gibran bahkan Cuma dapat nilai rapor 3.
Ini artinya, menurut CELIOS, Prabowo-Gibran gagal totol sebagai pemimpin Indonesia. Sejumlah menteri juga mendapat nilai merah. Tiga menteri dengan rapor terendah adalah Natalius Pigai, Budi Aries Setiadi, dan Bahlil Lahadalia.
Hasil studi CELIOS beda banget dengan hasil survei Litbang Kompas yang juga baru saja diumumkan. Dalam survei nasional Kompas, sekitar 80 persen rakyat Indonesia menyatakan puas dengan kepemimpinan Prabowo-Gibran dalam 100 hari kepemimpinan mereka.
Lha, ini kok menurut CELIOS, rapornya Cuma 5 dan 3? Jadi mana yang bisa lebih dipercaya? Kompas atau Celios? Kayaknya sih studi CELIOS ini gak bisa diandalkan. Metode studi yang diterapkanya lemah banget.
CELIOS ini meminta pendapat dari 95 jurnalis dari 44 media yang ada di Indonesia. Jadi yang bilang nilai Prabowo 5 dan Gibran 3 adalah 95 jurnalis tersebut. Mereka menyebut metode studi mereka expert judgement. Atau kalau diindonesiakan, bisa diterjemahin jadi: penilaian para ahli.
Sebenarnya boleh-boleh aja mereka hanya bertanya pada para ahli. Masalahnya mereka tidak menjelaskan siapa jurnalis yang disebut sebagai para ahli. Mereka juga tidak menjelaskan, dari media mana saja para jurnalis itu dipilih. Mereka juga tidak jelaskan bagaimana para jurnalis itu dipilih oleh CELIOS untuk diwawancara.
Kan nggak semua jurnalis bisa disebut ahli? Kan ada jurnalis abal-abal, ada jurnalis pinter. Nah dari mana kita bisa tahu bahwa CELIOS hanya wawancara wartawan yang layak disebut ahli?
Selama ini, penelititian kan biasa dilakukan dengan mewawancarai masyarakat luas. Ini misalnya terlihat dalam survei-survei lembaga-lembaga penelitian seperti SMRC, Indikator, LSI, Kompas, dan lain-lain. Responden itu dipilih melalui tehnik yang disebut random sampling. Jadi responden dipilih bukan karena kepintaran atau keahlian. Tapi si peneliti mengundi secara acak dari daftar nama warga di sebuah rt atau rw misalnya. Si responden yang terpilih dianggap bisa mewakili pendapat masyarakat secara umum.
Expert judgment itu beda. Dalam metode ini, peneliti dengan sengaja memilih nama-nama para ahli untuk diminta pendapatnya. Karena itu jadi penting bahwa yang dipilih memang bener-bener ahli.
Jadi, jujur saja, hasil studi CELIOS ini sangat diragukan. CELIOS sendiri menyebut diri mereka lembaga think-tank yang focus pada analisa makro-ekonomi, moneter, transisi energi, dan tata kelola mineral kritis. Nama Direktur Eksekutifnya adalah Bhima Yudhistira. Di websitenya dia disebut lulusan S1 FEB UGM, dan S2 di University of Bradford, Inggris.
Klaimnya sih keren. Tapi kalau kita browse google, nama Bhima dan CELIOS tak banyak ditemukan. Mungkin aja, mereka masih belajar bikin studi lapangan yang bisa diandalkan dan dipercaya.
Temuan CELIOS ini tentu aja nggak perlu diabaikan begitu saja. Tapi yang penting kita tahu, nilai rapor mereka itu punya banyak kelemahan.
Yuk Jujur Dalam Melakukan Penelitian.