Tak terbantahkan: Keturunan Tionghoa Indonesia jauh lebih nasionalis daripada Tionghoa di Malaysia. Ini memang bukan temuan hasil penelitian ilmiah-akademik ya. Tapi sekarang ini banyak sekali video-video Youtube yang menunjukkan fenomena ini. Misalnya saja hasil observasi di sebuah konten yang diupload kanal Youtube The Wanderers pada 4 Desember lalu. Menurut konten itu, warga Malaysia mengaku heran, takjub, sekaligus iri karena banyak keturunan China di Indonesia yang fasih banget berbahasa Indonesia.
Mereka juga terkejut banyak Chindo (China Indonesia) yang malah nggak bisa bahasa Mandarin. Mereka lalu membandingkan kondisi ini dengan warganya yang juga keturunan Tionghoa. Menurut mereka, orang China Malaysia lebih memilih berbahasa Inggris atau Mandarin dalam kehidupan sehari-hari dibanding berbahasa Melayu. Kalaupun ada orang China-Malaysia berbahasa Melayu, terdengar kurang jelas. Itu karena mereka suka mencampurkan logat Mandarin dalam Bahasa Melayu. Selain itu, nama orang China Malaysia sama sekali nggak ada unsur nama Melayu di dalamnya. Bahkan ketika orang China Malaysia ditanya apa dia orang Malaysia, umumnya dia menjawab “saya orang China-Malaysia”.
Pertanyaan semacam ini sebenarnya cukup sensitif bagi warga Malaysia keturunan. Itu karena stereotype orang China-Malaysia yang terbangun selama ini. Orang China-Malaysia dianggap mau hidup berbaur, tapi tidak untuk berintegrasi dengan budaya Melayu. Pertanyaannya, mengapa itu terjadi di Malaysia, sementara di Indonesia tidak?
Di Malaysia warga dibagi ke dalam 3 ras: Melayu, Tionghoa, dan India. Masalahnya, dalam undang-undang Malaysia, etnis Melayu mendapat perlakuan khusus, sementara etnis non-Melayu tidak. Ini jelas berdampak pada tingkat nasionalisme Orang China-Malaysia terhadap negara Malaysia. Di Indonesia kondisinya beda banget dari Malaysia. Dalam konstitusi Indonesia nggak ada satu kelompok sosial tertentu yang mendapat perlakuan khusus. Semua kelompok sosial diperlakukan setara di mata undang-undang dan hukum.
Karena itu, Chindo merasa Indonesia adalah bagian dari identitas mereka. Chindo justru merasa sedih kalo mereka ‘disisihkan’ sebagai warga Indonesia. Kalau mau jujur, peleburan kaum Chindo ini sebenernya bermula dari kebijakan asimilasi yang dipaksakan. Itu terjadi pada tahun 1966 ketika Indonesia mengalami tragedi yang memilukan sepanjang sejarah, yaitu apa yang kenal sebagai ‘Gerakan 30 September 1965’. Ketika itu warga keturunan Tionghoa Indonesia dituduh terlibat dalam peristiwa yang dianggap pemberontakan itu. Soeharto yang mengambil-alih kekuasaan tertinggi saat itu, mengeluarkan kebijakan asimilasi terhadap warga keturunan Tionghoa Indonesia.
Soeharto berupaya menghapus identitas etnis Tionghoa agar berintegrasi dengan budaya Indonesia. Dampak dari kebijakan itu nama warga Tionghoa di berbagai kartu identitas harus diganti menjadi nama Indonesia. Penggunaan bahasa Mandarin dan perayaan Imlek dilarang. Ruang berpartisipasi warga Tionghoa di dunia politik dan penyebaran budaya Tionghoa dibatasi. Singkatnya, warga keturunan Tionghoa jadi kelompok yang paling banyak mendapat diskriminasi dari pemerintah.
Padahal, sebelum tragedi itu terjadi, kontribusi warga keturunan Tionghoa untuk Indonesia nggak perlu diragukan. Lokasi yang digunakan untuk peristiwa bersejarah ‘Sumpah Pemuda 1928’ misalnya adalah rumah milik warga keturunan Tionghoa, Sie Kong Lian. Tidak sedikit warga keturunan Tionghoa yang jadi pejuang kemerdekaan.
Di dunia politik, warga keturunan Tionghoa yang penting disebut adalah Siau Giok Thjan. Dia adalah pendiri Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi sosial politik sebagai wadah warga keturunan Tionghoa. Baperki ikut pemilu tahun 1955 dan Siau Giok Thjan terpilih sebagai anggota DPR. Di Gedung Parlemen dia penganjur paham integrasi, yaitu menjadi bagian integral bangsa Indonesia tanpa kehilangan budaya kesukuan.
Karena itu, kebijakan asimilasi yang dibuat Soeharto seolah menunjukkan dia seperti mengabaikan kontribusi penting warga keturunan Tionghoa pada era sebelumnya. Tapi ternyata kebijakan yang sebenarnya diskriminatif ini membawa rahmat terselubung. Warga Tionghoa menjadi benar-benar melebur ke dalam masyarakat Indonesia, meski perlakuan tidak adil terus terjadi. Hebatnya, meski didiskriminasi, rasa nasionalisme dalam diri warga Chindo ternyata nggak padam.
Apalagi di era Reformasi warga Chindo bisa leluasa mengekspresikan identitasnya berkat kebijakan Presiden Gus Dur. Ke depan mudah-mudahan saja diskriminasi terhadap Chindo bisa semakin menghilang
Karena Chindo adalah Indonesia. Karena Chindo adalah Saudara Sebangsa Kita!