Jakarta, PIS – Bestie PIS, coba deh perhatiin nama temen-temen kamu yang keturunan Tionghoa. Mayoritas nama mereka pasti terdengar Indonesia atau terdengar barat kan Ternyata, itu bukan tanpa alasan loh.
Kata Sekretaris Jenderal Perkumpulan Indonesia Tionghoa (INTI), Candra Yap, sebagian warga keturunan Tionghoa masih trauma peristiwa di masa lalu. Karena itu, mereka takut kalo kasih nama Tionghoa ke anak mereka bakal dipersulit ngurus KTP di RT atau kelurahan.
Apalagi kalo mereka tinggal di daerah terpencil. Itu yang dialami Candra sendiri. Meski tinggal di Jakarta, orangtuanya cuma kasih nama Candra. Tanpa nama marga di belakangnya, seperti umumnya warga keturunan Tionghoa.
Ketika sekarang ada aturan nama warga harus dua kata, Candra pakai nama Yap di belakangnya. Salah satu peristiwa yang bikin warga keturunan Tioghoa trauma adalah Gerakan 30 September 1965, Bestie PIS.
Kata penulis buku Anak Cino, Handoko Widagdo, sejak peristiwa itu warga Tionghoa dimasukin ke kelompok C. Kelompok C adalah mereka yang nggak terlibat langsung dalam peristiwa itu, tapi dianggap ngedukung PKI.
Akibat kebijakan itu, warga Tionghoa dipaksa ganti nama mereka yang Tionghoa dengan nama-nama Indonesia. Akar budaya mereka diputus. Ini yang dialami Handoko yang sebelumnya bernama Khoe Kiem Hiat.
Peristiwa lain adalah kerusuhan 1998. Warga keturunan Tionghoa banyak yang jadi korban penjarahan dan perkosaan ketika itu. Sejak tahun 2000, Presiden Gus Dur memang udah hapus diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa.
Mereka bisa lagi pakai nama Tionghoa dan bisa ngerayain Imlek secara terbuka. Tapi trauma itu sepertinya belum juga bisa dihilangin. Meski begitu, bukan berarti nggak ada sama sekali warga keturunan Tionghoa yang kasih nama Tionghoa ke anak-anak mereka.
Bahkan nama anak-anak mereka itu tercatat di akta kelahiran. Itu dilakuin sebagai bentuk ngelestariin marga leluhur. Juga supaya anak-anak mereka tahu akar budaya mereka. WARGA KETURUNAN TIONGHOA ADALAH SAUDARA KITA.