Resmi Dilantik, Gubernur Maluku Utara Menang Melawan Politik Identitas

Published:

Sherly Tjoanda, seorang Kristen dan Tionghoa, akhirnya resmi dilantik jadi Gubernur Maluku Utara! Perjuangan Sherly untuk sampai ke titik ini dalam Pilkada Maluku Utara nggak gampang ya. Dia jadi bulan-bulanan serangan politik identitas. Sejak namanya disebut sebagai calon gubernur, aksi protes langsung bermunculan. Kelompok Aliansi Masyarakat Adat Moloku Kie Raha menolak Sherly dengan alasan adat dan agama.

Panglima Sultan Tidore, Muhammad Ali Alting, menegaskan Moloku Kie Raha sejak dulu dipimpin dengan prinsip Islam. Apalagi, federasi kerajaan Islam di Maluku Utara seperti Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan didirikan atas dasar Islam. Karena itu, pemimpin Maluku Utara juga harus pegang prinsip yang sama, katanya.

Mereka bahkan mengeluarkan maklumat dengan empat poin utama penolakan. Pertama, menolak pemimpin non-Muslim karena dianggap melanggar adat Moloku Kie Raha. Kedua, meminta pemerintah dan partai politik menghormati hukum adat dalam pemilihan pemimpin. Ketiga, menghimbau masyarakat agar tetap berpegang pada nilai-nilai adat. Keempat, menegaskan bahwa tidak memilih pemimpin non-Muslim adalah wasiat leluhur Moloku Kie Raha. Menurut mereka, ini penting buat menjaga identitas budaya dan agama di Maluku Utara. Mengingat mayoritas warga Maluku Utara adalah Muslim, isu ini jadi sangat sensitif.

Banyak yang merasa pemimpin daerah harus seiman dengan rakyat mayoritas. Mereka khawatir kebijakan Sherly nanti nggak bakal selaras sama nilai-nilai Islam. Tapi di sisi lain, pendukung Sherly yakin dia tetap bisa jadi pemimpin yang baik. Buat mereka, yang penting itu kompetensi dan integritas, bukan agama. Pendukung Sherly percaya Sherly bisa membawa Maluku Utara lebih maju tanpa harus mempermasalahkan agamanya.

FYI, dalam Pilkada Maluku Utara, Sherly berpasangan dengan Sarbin Sehe. Sherly menggantikan suaminya, Benny Laos yang meninggal saat berlayar menuju satu wilayah untuk berkampanye pada Oktober 2024. Setelah kepergian Benny, partai-partai pendukung Benny mendorong Sherly maju dan meneruskan perjuangan suaminya.

Sherly-Sarbin berhasil menang dengan dukungan 51,8% suara. Mereka unggul jauh dari Sultan Tidore, Husin Alting, yang cuma dapat 24,42% suara. Kemenangan Sherly direspons lawan politiknya dengan gelombang protes. Aliansi Masyarakat Muslim Maluku Utara dan Front Persatuan Peduli Pemilu Demokrasi Maluku Utara turun ke jalan. Mereka menuntut KPU membatalkan hasil pilgub yang memenangkan Sherly-Sarbin. Mereka menuding ada kecurangan, manipulasi politik, dan keberpihakan pejabat daerah.

Pada akhirnya, Sherly-Sarbin yang dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara. Apa yang terjadi di Maluku Utara adalah tantangan besar bagi demokrasi di Indonesia ya. Seorang kandidat yang secara etnis dan agama berbeda dengan etnis dan agama mayoritas pemilihnya dianggap tidak layak menjadi kepala daerah. Isu-isu politik identitas pun disebarkan untuk menggagalkan kandidat itu. Narasi yang umum dihembuskan adalah pemilih jangan memilih kandidat yang tidak seiman dan se-etnis. Ini tidak hanya terjadi di Maluku Utara, tapi juga pernah di Jakarta dan daerah lainnya. Mayoritas pemilih di Maluku Utara membuktikan bahwa yang dilihat dari pemimpin itu kualitasnya, bukan agama atau etnisnya. Mudah-mudahan kemenangan akal sehat di Maluku Utara ini bisa menyebar ke seluruh daerah ya. Yuk, lawan politik identitas!

Artikel Terkait

Terbaru

spot_img